Bisnis.com, JAKARTA - Nelayan eks cantrang mengeluhkan ikan hasil tangkapan mereka tidak terserap oleh pasar setelah berpindah wilayah penangkapan ke Laut Arafura di Papua.
Eko Susanto, nelayan di Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal, mengungkapkan kapalnya sudah sepekan sandar di dermaga Timika, tetapi belum ada pembeli.
Kapal berukuran 99 gros ton itu semula menggunakan cantrang, tetapi kemudian beralih memakai jaring insang (gillnet) setelah pemerintah melarang penggunaan alat tangkap pukat tarik dan pukat hela.
Atas arahan Kementerian Kelautan dan Perikanan pula, kapal itu berpindah melaut dari semula di sekitar perairan Kalimantan (WPP 712 Laut Jawa) ke Laut Arafura (WPP 718 Laut Arafura-Laut Timor).
Namun, setelah melaut selama 2,5 bulan dengan hasil tangkapan 45-50 ton, Eko kebingungan mencari pembeli di Timika. Hasil tangkapannya a.l. berupa ikan hiu, manyung, kuro, dan kakap hingga kini masih tersimpan di freezer kapal.
"Saya bingung harus berbuat apa. Saya tidak tahu pasar di Papua," katanya saat dihubungi, Kamis (6/7/2017).
Eko mengaku sudah menghubungi Perum Perikanan Indonesia (Perindo), tetapi BUMN perikanan itu tidak sanggup membeli karena stok ikan mereka masih banyak. Alasan cold storage yang penuh juga diperoleh Eko ketika nakhoda kapalnya menghubungi beberapa pengepul ikan di Papua.
Padahal, modal yang dikeluarkan Eko relatif besar ketika mengganti cantrang menjadi gillnet. Dia harus membelanjakan Rp2,5 miliar dari menarik kredit di tiga bank untuk membeli 150 piece gillnet. Belum lagi biaya perbekalan dan bahan bakar minyak yang mencapai Rp900 juta.
Dengan investasi dan modal kerja sebesar itu, Eko sebenarnya merencanakan kapal baru pulang ke Jawa setelah melakukan 2-3 trip selama enam bulan, sedangkan hasil tangkapan pada trip pertama dibongkar di Timika atau Merauke.
"Ini baru trip pertama, kami kesulitan menjual ikan-ikan kami. Kalau dipaksa pulang ke Jawa, secara hitung-hitungan tidak menutup biaya perbekalan atau operasional," ungkapnya.