Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Anjurkan LG Serap Gas Bintuni dan Masela

Pemerintah menganjurkan perusahaan Korea Selatan LG International untuk memanfaatkan penggunaan gas di Teluk Bintuni, Papua Barat, dan di Blok Masela, Maluku.
Ilustrasi./Bisnis
Ilustrasi./Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah menganjurkan perusahaan Korea Selatan LG International untuk memanfaatkan penggunaan gas di Teluk Bintuni, Papua Barat, dan di Blok Masela, Maluku. Pasalnya, perusahaan tersebut bersama PT Duta Firza telah sepakat untuk mendirikan industri petrokimia di Indonesia yang menyerap gas sebagai bahan baku.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah membuka diri terhadap permintaan dari para investor. Oleh karena itu, melalui pertemuan bisnis dengan CEO LG International Song Chi Ho di Seoul, Korea Selatan, pemerintah berharap adanya investasi dari negeri Ginseng tersebut di industri strategis, seperti sektor petrokimia.

Pabrik petrokimia yang akan dibangun memiliki nilai investasi US$1,3 miliar dan ditargetkan memproduksi methanol sebanyak 1 juta ton per tahun. “Proyek mereka akan membutuhkan natural gas mencapai 90 mmscfd dengan ekspektasi harga US$1 per mmbtu. Saat ini, LG masih melakukan feasibility study di Bintuni,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (4/7/2017).

Kementerian Perindustrian mencatat wilayah Bintuni berpotensi dibangun industri petrokimia karena terdapat dua cadangan gas yang dioperasikan oleh dua perusahaan, yakni BP Tangguh sebesar 23,8 trilliun standard cubic feet (TSCF) dan Genting Oil Kasuri Pte, Ltd sebesar 1,7 TSCF.

Area ini berpotensi dikembangkan untuk pabrik petrokimia yang memproduksi komoditas gas alam dalam dua fase. Pertama, sebesar 257 mmscfd yang dipasok dari BP Tangguh dan Genting Oil Kasuri Pte, Ltd. dengan target beroperasi pada 2021 untuk menghasilkan methanol, ethylene, propylene, polyethylene, dan polypropylene.

Fase kedua sebesar 90 mmscfd pada 2026 dari BP tangguh untuk pabrik ammonia. Adapun, beberapa investor yang telah menyatakan minat untuk membangun industri petrokimia di Bintuni, antara lain Ferrostaal, Asahi Kasei Chemicals, LG, Mitsui, dan Sojitz.

“Untuk di Masela, pemerintah bersama dengan operator saat ini masih menghitung cadangan gas yang feasible dan alokasi gas alam di blok ini. Untuk produksi LNG dan cadangan untuk industri kimia dibuatkan skema gas pipa,” ujar Airlangga.

Terdapat empat area yang akan dikembangkan sebagai on-shore yang terdiri dari wilayah Maluku barat daya dengan perkiraan jarak 220 km, Maluku Selatan dengan perkiraan jarak 180 km, Kepulauan Aru yang berjarak 600 km, dan Maluku Tenggara yang juga berjarak 600 km. Beberapa perusahaan yang sudah minat dan tengah menunggu penghitungan untuk dapat mendirikan pabrik petrokimia, antara lain PT Pupuk Indonesia, Sojitz, dan Elsoro Multi Pratama.

Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Achmad Sigit Dwiwahjono menuturkan pemerintah memfasilitasi pemberian fasilitas dan insentif bagi investor yang ingin mendirikan industri petrokimia, di antaranya pembangunan infrastruktur. Pada tahun lalu, pemerintah telah membuka jalan baru di Papua sebagai komitmen dalam membangun kawasan Indonesia Timur.

Upaya ini juga dilakukan untuk mendukung investasi petrokimia baru di Bintuni, Papua Barat. Selain jalan, pemerintah juga telah melengkapi kebutuhan infrastruktur dasar seperti air, listrik yang memadai dan pelabuhan industri.

Fasilitas lainnya, yakni insentif fiskal berupa tax allowance dan tax holiday dengan persyaratan tertentu untuk industri yang spesifik. Selain itu, sedang diusulkan insentif khusus berupa pembebasan pajak untuk 20 tahun. Kebijakan ini masih terus didiskusikan di rapat tingkat Menko Perekonomian, yang akan dimanfaatkan bagi investor di Bintuni dan Masela.

Sigit menambahkan, kapasitas industri petrokimia terus meningkat sejak 2010 dengan rata-rata 0,845 million ton per annum (MTPA). Adapun, total kapasitas di 2016 mencapai 33,727 MT.

“Saat ini, industri petrokomia di Indonesia mampu memproduksi 42 jenis produk, dengan produk utama urea, ammonia, ethylene dan propylene,” ujarnya.

Meski berada di peringkat kelima dunia, Indonesia memiliki tantangan di industri petrokimia pada tiga basis produk, yaitu olefin, methane dan aromatic. Indonesia juga masih membutuhkan impor untuk kimia dan farmasi. Menurut Badan Pusat Statistik, Indonesia mengimpor kimia dan farmasi senilai US$19,03 miliar pada 2016, sedangkan nilai ekspor sebesar US$10,84 miliar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper