Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kearifan Lokal Budaya Bakar Lahan Rawan Penyimpangan

Anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo mengingatkan, kebiasaan masyarakat membuka lahan di bawah 2 hektare dengan cara membakar yang dijamin UU No.32 tahun 2009 perlu diubah karena rawan penyimpangan.
Kebakaran terjadi tidak jauh dari area perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Tanah Putih Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau, Selasa (21/2)./Antara-FB Anggoro
Kebakaran terjadi tidak jauh dari area perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Tanah Putih Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau, Selasa (21/2)./Antara-FB Anggoro

Bisnis.com, JAKARTA-Anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo mengingatkan, kebiasaan masyarakat membuka lahan di bawah 2 hektare dengan cara membakar yang dijamin UU No.32 tahun 2009 perlu diubah karena rawan penyimpangan.

“Sebagai kearifan lokal yang dijamin UU, kebiasaan masyarakat membuka lahan 2 hektare sebenarnya tetap bisa dipertahankan. Hanya caranya perlu diubah dari membakar menjadi menggunakan mekanisasi seperti traktor dan sebagainya, “ kata Firman di sela-sela Public Policy Discussion DPN Apindo bertema tantangan perbaikan kebijakan industri perkebunan sawit, di Jakarta, Rabu (21/6).

Untuk itu, Firman mengharapkan, pemerintah perlu membantu masyarakat untuk mengubah perilaku tersebut. Pembukaan lahan menggunakan mekanisasi jauh lebih manusiawi dan tidak menimbulkan banyak masalah dikemudian hari.

Menurut Firman, cara-cara membuka lahan dengan membakar sebaiknya tidak ditolerir  karena rawan penyimpangan.  Dia mencontohkan, kebakaran besar pada tahun 2015 yang dipakai sebagai acuan untuk membuat sejumlah regulasi yang  bertendensi memojokan industri, didisain oleh kelompok tertentu dengan memanfaatkan celah dari kearifan lokal tersebut.

Jika sebelumnya tahun 2015, kebakaran hanya terjadi beberapa wilayah seperti Riau, Jambi dan Sumatera, kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 berbeda karena bersifat masif dan sistimatis. Masif karena kebakaran  terjadi secara merata di 7 provinsi di Indonesia , sistematis karena kasus kebakaran beruntun dari Sumatera hingga Papua.

“Ada dugaan, pihak-pihak tertentu dan LSM yang mengatasnamakan lingkungan mendesain kasus kebakaran itu dengan memanfaatkan celah dari kearifan lokal untuk membakar seluas 2 hektare. Dugaan rekayasa pembakaran itupun pernah diutarakan salah satu instansi pemerintah. Hanya saja, masalah itu tidak terkuak ke publik karena syarat dengan berbagai kepentingan,” kata Firman.

Firman menduga, motivasi mendesain kebakaran hutan dan lahan pada 2015 terkait dengan masalah politik perdagangan.  Dari sekian banyak komoditas minyak nabati, hanya sawit itu yang mampu tumbuh dengan baik dan mampu mengalahkan pesaing minyak nabati lain. “Karena itu, asing melalui berbagai perjanjian internasional, seperti konferensi perubahan iklim di Paris serta Perjanjian Norwegia, berusaha mematikan potensi nasional Indonesia, ‘kata dia.

Firman mengingatkan, pemerintah Jokowi untuk tidak mudah terhasut dengan pernyataan beberapa LSM, karena banyak dari mereka merupakan operator kepentingan asing di Indonesia. “Sebenarnya, berkali-kali saya menghimbau BIN dan aparat Kepolisian untuk menyelidiki LSM-LSM yang suka mendiskreditkan kebijakan nasional, kata dia.

Ketua Dewan Pertimbangan Presiden Prof Sri Adiningsih  mengatakan,  peran sektor perkebunan sawit sangat penting bagi perekonomian Indonesia. “Sebagai komoditas unggulan, sawit punya peran kontribusi besar bagi perekonomian Indonesia.”

Dia juga mengungkapkan, industri sawit harus terus ditingkatkan karena menghasilkan devisa besar serta lebih dari 5 juta kepala keluarga petani bergantung di industri ini. “Ini potensi yang harus kita kembangkan agarIndonesia menjadi salah satu eksportir terbesar di dunia,” kata dia

Sementara itu, Benny Pasaribu, Ketua Pokja Pangan, industri Pertanian dan Kehutanan Komite Ekonomi dan Industri (KEIN) mengatakan, isu negatif dalam persaingan global merupakan hal yang biasa. Persoalannya, kita harus mampu menepis isu-isu negatif itu dengan diplomasi internasional agar industri sawit tetap terus berjalan.

Menurut Benny, pemerintah berkomitmen untuk mengembangkan industri sawit karena melibatkan banyak  tenaga kerja berpendidikan rendah seperti tamatan SD atau SMP. 

‘Harus diakui, disitulah banyak sumber daya manusia kita terutama di daerah-daerah. Walaupun jenjang pendidikan mereka tidak tinggi, rata-rata para pekerja sawit merupakan tenaga professional dan pekerja keras. Terbukti di Malaysia, yang industri sawitnya lebih maju dari kita banyak memanfaatkan pekerja sawit asal Indonesia,” kata Benny.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : News Editor
Sumber : Antara
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper