Bisnis.com, JAKARTA - Federasi Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia (FBTPI) menolak pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak terhadap buruh Pertamina Patra Niaga. FBTPI menganggap PHK itu tidak sah.
Ketua Umum FBTPI Ilhamsyah mengatakan ada sekitar 300an org yang ter-PHK. "Yang dari anggota serikat yang sudah terdata ada sekitar 174,” ujar Ilhamsyah melalui siaran pers pada Kamis (1/6/2017).
Ratusan buruh transportasi melakukan aksi unjuk rasa di kantor Pertamina Patra Niaga pada Rabu (31/5/2017).
Sebagai informasi, perusahaan melakukan PHK melalui vendor PT Garda Utama Nasional pada Selasa (30/5/ 2017). Sejak itu, serikat sudah berupaya berunding. "Kami terpaksa berunjuk rasa karena perusahaan mengabaikan perundingan,” ungkap Ilhamsyah.
FBTPI menganggap sekitar 1.000 buruh pengangkut BBM itu seharusnya sudah menjadi karyawan tetap dan tidak dapat di-PHK semena-mena.
Sebelumnya, Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Utara sudah dua kali mengusulkan buruh outsourcing di Pertamina Patra Niaga demi hukum menjadi karyawan tetap. Hal ini karena perusahaan tidak sah menggunakan outsourcing untuk inti produksi.
Menimbang fakta tersebut, PT Pertamina Patra Niaga tidak bisa lepas tangan dengan mengatakan PHK di vendor bukan urusan perusahaan.
Ketua FBPTI Pertamina Patra Niaga, Nuratmo, menyatakan akan berpatokan pada nota pemeriksaan pertama dan khusus kedua yang menyatakan jadi karyawan tetap Patra Niaga.
FBTPI juga menganggap PHK sepihak ini sebagai bentuk pelemahan serikat. Sejak Februari hingga April, perusahaan merekrut ratusan karyawan baru. “Pengurangan besar-besaran dimulai dengan perekrutan pekerja baru besar-besaran ,” ujar Nuratmo.
Sebelumnya, pengurus serikat buruh Pertamina Patra Niaga di Padalarang dan Bandung juga sempat dilarang bekerja hanya karena mengikuti aksi Hari Buruh di Jakarta. Aksi protes akhirnya membuat mereka dapat bekerja kembali.
Pada November lalu sekitar 1000 buruh FBTPI di Pertamina Patra Niaga melakukan aksi mogok kerja. FBPTI memprotes status alih daya dan kontrak berkepanjangan.
Selain itu, para Awak Mobil Tangki juga mendesak penghapusan kondisi kerja yang membahayakan nyawa. Di antaranya adalah jam kerja berkepanjangan.
Wakru kerja 12 jam lebih membuat buruh yang membawa bahan mudah terbakar itu rentan kecelakaan.
Sejak Desember 2015, sudah tiga kali truk tangki dari depo Plumpang tersebut terbakar. Empat buruh tewas terpanggang dalam kecelakaan tersebut.