Bisnis.com, JAKARTA – Pelibatan lembaga swadaya masyarakat sebagai pemantau independen sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dinilai belum menjamin perbaikan tata kelola industri kelapa sawit selama tidak dibarengi dengan kepatuhan pemerintah menjalankan undang-undang.
Kelapa Desk Kampanye Sawit Watch Maryo Saputra Sanuddin berpendapat penguatan ISPO semestinya diawali dengan komitmen pemerintah untuk mematuhi undang-undang yang berlaku. Dia mencontohkan sikap abai atas keputusan Mahkamah Konstitusi yang mencabut klausul dalam UU No. 39/2014 tentang Perkebunan sehingga perusahaan mesti memiliki hak guna usaha (HGU) sekaligus izin usaha perkebunan (IUP).
Selain itu, imbuh Maryo, pemerintah tidak berdaya menolak RUU tentang Perkelapasawitan yang merupakan inisiatif parlemen. Padahal, dia menilai RUU tersebut justru memperburuk regulasi di sektor kelapa sawit.
“Kalau bicara ISPO, yang jadi persoalan bukan prinsip dan kriterianya, tapi kebijakan di atasnya. Prinsip dan kriteria ISPO kan dasarnya kebijakan,” katanya kepada Bisnis.com, Kamis (20/4/2017).
Di samping konsistensi, Maryo juga menyoroti masih adanya peran Kementerian Pertanian dalam pelaksanaan ISPO. Komisi ISPO, misalnya, masih berperan sebagai pengawas kendati tidak lagi menilai proses sertifikasi auditor perusahaan.
Karena itu, dia berpandangan rencana penguatan ISPO melalui peraturan presiden tidak akan memperbaiki tata kelola industri kelapa sawit. Implikasinya, kredibilitas sertifikasi tersebut masih terus dipertanyakan oleh negara maju.
“ISPO harus independen dan bukan tugas pemerintah untuk mengurusi ISPO,” ucapnya.
Sebelumnya, Asisten Deputi Perkebunan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Wilistra Danny mengaku telah merancang mekanisme kerja sama pemerintah dengan LSM dalam agenda penguatan sertifikasi ISPO. Nantinya, mereka akan berperan sebagai lembaga pemantau independen saat pelaksanaan sertifikasi di lapangan.
Meski demikian, dia mengisyaratkan bahwa tidak semua LSM lingkungan akan dilibatkan. Pasalnya, Danny menilai sebagian LSM memang berdiri untuk kepentingan asing.
“Hanya LSM ‘Merah Putih’ yang masih ada nasionalismenya yang diajak,” katanya.
Pemerintah semakin menyadari pentingnya merangkul LSM menyusul lolosnya resolusi Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests di Parlemen Eropa. Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang meyakini berbagai tuduhan negatif terhadap kelapa sawit di negara maju bersumber dari data LSM yang berbasis kajian sederhana.
“Keluarnya resolusi di Parlemen Eropa jadi introspeksi bahwa adik-adik kita itu perlu dirangkul agar mereka berbalik ke ‘Merah Putih’,” ujarnya.