Bisnis.com, JAKARTA – Menjelang berakhirnya pelaksanaan program pengampunan pajak (Tax Amnesty/TA), pihak otoritas mencermati siapap yang tidak berpartisipasi dan terus menghindari pembayaran pajak.
Seperti dilansir Bloomberg (Kamis, 30/3/2017), Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berencana untuk meneliti data kartu kredit dari bank-bank dan membandingkannya dengan laporan pajak setelah program amnesti mengungkap lebih dari US$352 miliar pada aset yang tidak dideklarasikan sebelumnya.
“Sementara peserta amnesti pajak akan diawasi, para wajib pajak besar yang tidak berpartisipasi akan membayar dengan harga yang jauh lebih besar, termasuk penalti sebesar 200%,” ujar Hestu Yoga Saksama, direktur untuk hubungan masyarakat di Direktorat Jenderal Pajak.
Program amnesti pajak, upaya utama dalam rencana Presiden Joko Widodo untuk mendorong pendapatan negara yang diperlukan demi mendanai rencana belanja yang ambisius, akan berakhir Jumat pekan ini pada 31 Maret 2017.
Berdasarkan data terbaru dalam laman resmi pajak.go.id pada pukul 11.37 WIB, realisasi penerimaan berdasarkan SSP (surat setoran pajak) yang diterima telah mencapai sekitar Rp126 triliun. Lebih dari 800.000 partisipan pun telah menyampaikan pernyataan harta senilai sekitar Rp4.709 triliun sejak program ini dimulai pada Juli 2016.
Meski pemerintah menetapkan target repatriasi sebesar Rp1.000 triliun, namun sejauh ini hanya sekitar Rp146 triliun yang dibawa pulang. Menurut data Kementerian Keuangan, Singapura memberi kontribusi sebesar Rp84,5 triliun dari nilai tersebut, diikuti oleh Kepulauan Cayman dengan Rp16,5 triliun dan Hong Kong dengan Rp16,3 triliun.
Baca Juga
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo mengatakan, meskipun pelaksanaan program pengampunan pajak dinilai sukses dalam hal raihan pendapatan dan jumlah peserta, pencapaian dana repatriasi masih mengecewakan.
“Hal itu kemungkinan dibatasi oleh pembatasan kesempatan berinvestasi dibawah program tersebut. Pemerintah harus lebih kreatif untuk menciptakan produk investasi lainnya serta memperketat langkah penegakan hukum, demi menarik aset ke Indonesia,” ujarnya.
Indonesia memiliki tingkat kepatuhan pajak yang rendah, dengan hanya sekitar 10 juta orang yang mengajukan SPT pajak pada 2015 dari total populasi sejumlah 260 orang.
Menurut Suryo Utomo, staf khusus untuk kepatuhan pajak di Kementerian Keuangan, Singapura menempati posisi teratas sebagai tempat penyimpanan aset di luar negeri dengan nilai sekitar Rp751,19 triliun, disusul oleh British Virgin Islands dengan Rp76,92 triliun, dan Hong Kong dengan Rp56,27 triliun.