Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Spikoe Salju, Bisnis Oleh-Oleh Kekinian dari Sidoarjo

Saat ini banyak bermunculan kue-kue dari daerah untuk dijadikan oleh-oleh
Spikoe salju/
Spikoe salju/
Bisnis.com, JAKARTA-Saat ini semakin banyak dijumpai ragam kue oleh-oleh gaya baru dari berbagai kota. Menariknya, meskipun diklaim sebagai oleh-oleh khas, kue-kue tersebut sebenarnya bukan kue tradisional yang sudah dikenal masyarakat secara turun-temurun.

Alih-alih, sebagian besar dari kue oleh-oleh tersebut berasal dari resep serapan makanan asing atau modifikasi resep tradisional dengan cita rasa, bahan, dan teknik modern. Kudapan semacam itu dikenal juga dengan istilah ‘oleh-oleh khas kekinian’

Kebanyakan oleh-oleh khas kekinian itu dikemas dalam packaging kreatif dan menarik, yang memikat segmen pasar generasi muda. Selain itu, tidak sedikit dari mereka yang memakai strategi geo-tagging alias membubuhkan embel-embel nama kota pada mereknya

Beberapa contoh kue-kue serapan yang menjadi oleh-oleh khas kekinian yang sedang populer a.l. Beklave Makassar, Sakura Mochi Jogja, Surabaya Snow Cake, Almond Crispy Cheese Surabaya, Medan Napoleon, Malang Strudel, Jogja Scrummy, dan lain sebagainya.

Di Sidoarjo, terdapat juga oleh-oleh kekinian dengan merek dagang Raja Spikoe. Perusahaan ini sangat terkenal dengan modifikasi resepnya yang menggunakan durian sebagai bahan baku utama. Raja Spikoe juga adalah produsen spiku durian kekinian pertama di Indonesia.

Selain spiku durian, Raja Spikoe banyak diburu karena salah satu produknya yang bernama Spikoe Salju. Kue ini sepintas menyerupai bolu spiku, tetapi dilapisi pastry renyah, serta taburan gula halus yang menyerupai salju di atasnya.

Pilihan isian yang ditawarkan pun sangat kekinian dan menyesuaikan tren rasa di kalangan anak muda. Diantaranya adalah durian original, durian choco, durian cheese, durian green tea, choco banana, choco cheese, dan milo cheese.

Lantas, apa yang menginspirasi Ayu Pusparini—pemilik Raja Spikoe—dalam membuat produk oleh-oleh khas kekinian itu? Bagaimana juga dia menghadapi persaingan bisnis oleh-oleh khas kekinian yang semakin kompetitif? Berikut penuturannya:

Sejak kapan mendirikan usaha oleh-oleh khas kekinian? Apa yang membuat Anda tertarik terjun ke bisnis itu?

Sebelumnya saya sudah memiliki usaha restoran Raja Duren, yang konsep awalnya adalah all about durian. Kami bertujuan untuk menyajikan semua jenis olahan durian; mulai dari makanan ringan, pembuka, makanan utama, pencuci mulut, hingga minumannya

Nah, Raja Spikoe sendiri baru diluncurkan 3 bulan lalu. Kenapa Raja Spikoe? Karena kami melihat Surabaya dan Sidoarjo sangat terkenal dengan oleh-oleh spiku kuno [bolu lapis tiga yang berwarna kuning-coklat-kuning].

Dari situ, kami mencoba berinovasi untuk membuat oleh-oleh khas [spiku] tetapi menggunakan bahan baku durian agar selaras dengan DNA [ciri khas] produk kami. Dalam perkembangannya, kami juga mengombinasikan resep spiku dengan pastry.

Sebab, kebetulan kue kombinasi cake dan pastry sedang menjadi tren di Surabaya dan sekitarnya. Misalnya saja, saat ini sudah ada Surabaya Snow Cake [merek oleh-oleh kekinian milik selebritas Zaskia Sungkar].

Jadi, kami tetap berusaha mengaitkan bahan baku durian dengan tren pastry yang ada di Surabaya dan sekitarnya. Syukurlah, oleh-oleh khas ini diterima dengan baik oleh pasar dan para pecinta durian

Spikoe Duren dan Spikoe Salju sendiri ide/inspirasi resepnya dari mana?

[Resep] Dasarnya sebenarnya adalah kue spiku. Namun, kami membuat bolu untuk segmen pasar yang lebih kekinian, dengan cara mengombinasikannya dengan berbagai rasa yang sedang populer.

Secara spesifik, kami membidik para pecinta durian karena pangsa pasarnya cukup besar di Indonesia. Apalagi, kami menggunakan bahan baku durian asli tanpa penggunaan bahan pengawet. Itu yang membuat kue kami berbeda.

Bahan baku duriannya kami kombinasikan antara lokal dan impor. Sebab, durian lokal cenderung memiliki rasa yang tidak stabil; terkadang manis, terkadang agak kepahit-pahitan. Jadi, kami kombinasikan agar rasanya bisa selalu stabil dan terstandar.

Mengingat Raja Spikoe sebenarnya bukan kue tradisional asli, apa yang membuat produk Anda layak disebut sebagai ‘oleh-oleh khas’ kedaerahan?

Sebenarnya selera pasar sangat beragam. Selera pasar juga sangat ditentukan oleh segmen pasar yang dibidik.

Segmen pasar anak muda atau karyawan usia antara 20-35 tahun cenderung menyukai inovasi di dunia kuliner. Mereka selalu ingin mencoba sesuatu yang baru. Hal itu yang memicu kemunculan berbagai macam kue gaya baru yang menjadi oleh-oleh khas kekinian

Sebaliknya, segmen pasar orang tua cenderung lebih tradisional. Mereka lebih menyukai citarasa asli alias back to basic.

Banyak juga oleh-oleh kekinian yang pakai embel-embel nama kota. Apakah sebenarnya pengaruh geo taggingterhadap penjualan?

Sebenarnya tren itu juga menjadi isu tersendiri. Sebab, embel-embel nama kota pada merek lebih banyak digunakan oleh pengusaha pendatang [khususnya dari kalangan selebritas]. Itu adalah strategi pemasaran mereka.

Banyak sekali pendatang, yang bukan warga asli [kota yang bersangkutan], muncul dengan strategi pemasaran yang ‘wow!’ Salah satunya dengan mencantumkan nama kota pada mereknya untuk mendekati [memenetrasi] pangsa pasar warga asli setempat.

Di satu sisi, itu menjadi dilema tersendiri untuk para pelaku UKM asli setempat. Namun, kami tetap memandangnya sebagai tren positif untuk memacu inovasi dan bersaing secara sehat dalam mencari pangsa pasar untuk produk kami.

Menurut saya, geo tagging hanyalah salah satu strategi saja. Namun, yang lebih penting dalam menjalankan bisnis ini adalah kreativitas dan mengetahui cara main; tahu demografisnya, tahu segmen pasarnya, dan tahu distribusinya.

Bagaimana menghadapi persaingan, mengingat bisnis ini sedang tren?

Kalau masalah kompetisi, sebenarnya kemunculan pendatang-pendatang baru di bisnis ini secara tidak langsung akan membuat pasar terkonsentrasi di satu titik. Misalnya, saat sedang booming Surabaya Snow Cake atau Almond Crispy Cheese, semua akan lari ke sana.

Sebab, karakteristik pasar di Indonesia itu latah. Saat ada sesuatu yang baru dan sedang happening, mereka akan langsung menyerbunya. Mereka akan menganggarkan dana khusus untuk mencoba sesuatu yang baru itu agar tidak ketinggalan.

Nah, kami sebagai salah satu pelaku bisnis ini, harus memandang karakteristik tersebut sebagai sesuatu yang positif. Sebab, itu berarti konsumen di Indonesia suka menerima sesuatu yang baru.

Untuk mempertahankan konsumen, kami selalu mengumpulkan database dan bersaing dalam memberikan pelayanan yang terbaik dan cepat. Dengan adanya database itu, kami juga bisa memberikan promo-promo menarik bagi pelanggan setia.

Apa tantangan/kesulitan dari bisnis ini

Karena kami menggunakan bahan baku durian asli, tantangan utamanya adalah faktor musim dan cuaca. Selain itu, tantangan lainnya adalah bagaimana bisa keep up dengan pasar yang selalu menginginkan sesuatu yang baru.

Kami terus memutar otak untuk berinovasi dalam strategi pemasaran. Itulah kendala rata-rata UKM, dimana pemasaran dilakukan dengan segala keterbatasan.

Bagaimana strategi pemasarannya dan sudah sampai ke mana saja? Omzetnya?

Lewat event dan bazar-bazar pameran. Lalu juga melalui media sosial. Kami juga memiliki call center dan databasekonsumen, sehingga memudahkan untu k sosialisasi kepada para pelanggan.

Sejauh ini pemasaran sudah merambah ke Medan, Jakarta, Bali, Balikpapan, juga Singapura dan Malaysia.

Untuk omzet, rata-rata per pekan kami bisa menjual sekitar 400 boks. Permintaan selalu banyak karena banyak sekali orang yang penasaran bagaimana durian bisa diolah menjadi kue kekinian.

Harga jualnya sendiri untuk label Spikoe Duren sekitar Rp80.000—Rp85.000, dan untuk Spikoe Salju sekitar Rp50.000—Rp60.000.

Bagaimana Anda melihat prospek bisnis ini ke depannya?

Saya rasa bisnis ini akan terus eksis. Tinggal bagaimana caranya pelaku usaha membuat bisnisnya bertahan.

Jangan dengan mudah banting setir ke tren yang sedang ada. Misalnya, sedang tren rasa green tea, langsung ikut-ikutan bikin atau sedang tren keju mozarella, langsung ikut-ikutan bikin

Mengikuti tren boleh saja, tetapi produk kita harus tetap punya DNA. Kombinasikan tren yang ada dengan DNA [ciri khas] dari produk kita. Dengan demikian pasar otomatis akan mengikuti tren yang kita ciptakan. Sebaliknya, pelaku usaha pun dituntut untuk mengikuti selera pasar tanpa mengurangi DNA kita.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper