Bisnis.com, JAKARTA -- Pemerintah menyatakan kelangkaan bahan baku pasta ikan alias surimi terjadi di banyak negara sebagai tanggapan atas keluhan pengusaha yang kesulitan mendapatkan pasokan ikan rucah setelah alat tangkap cantrang dilarang.
Pelaksana Tugas Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Zulficar Mochtar mengatakan penyebab kelangkaan bahan baku bukanlah larangan cantrang, melainkan bisnis daging ikan lumat itu yang membutuhkan sumber daya ikan secara massif.
Menurutnya, keluhan tentang pasokan bahan baku yang tidak memadai juga melanda Vietnam, Thailand, dan Jepang.
"Bahkan Alaska Pollock yang dikabarkan sebagai sumber (bahan baku) surimi yang statusnya stabil, juga ternyata menurun. Ini karena nature dari bisnis surimi ini butuh sumber daya ikan secara massif," ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (10/2).
Zulficar berpendapat kebutuhan bahan baku industri surimi yang mencapai 1.000 ton per hari atau 200.000-300.000 ton ikan per tahun kurang realistis jika seluruhnya harus bergantung pada perikanan tangkap. Pasalnya, alokasi tangkapan ikan demersal yang diperbolehkan di setiap wilayah pengelolaan perikanan (WPP) per tahun tidak sebanyak itu.
Dia memberi contoh, di WPP 712 (Laut Jawa), jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) maksimum 256.346 ton untuk ikan demersal, di WPP 713 (Selat Makassar-Laut Flores) hanya 61.790 ton, dan WPP 714 (Laut Banda) hanya 79.840 ton.
“Apakah semua ikan-ikan itu akan ditangkap hanya untuk pabrik yang ada? Apa ini tidak berarti memonopoli ikan RI dan juga menguras sumber daya ikan? Bagaimana dengan hak dan kebutuhan ratusan ribu nelayan lain?” ujarnya.
Untuk itu, kata Zulficar, perusahaan-perusahaan surimi harus melakukan opsi-opsi antisipasi, a.l. melakukan budidaya perikanan untuk suplai bahan baku, mencampur bahan baku dengan alternatif spesies yang relevan, menambahkan input teknologi untuk efisiensi, atau mengimpor dari negara lain. Opsi ini dapat disesuaikan dengan kapasitas masing-masing perusahaan.
Menurut dia, perusahaan yang bergerak dalam industri sumber daya harus punya business plan yang baik. Selain itu, harus mampu melakukan analisis sumber stok dan bahan baku yang ramah lingkungan. Perhitungan rantai suplai dan rantai nilai juga harus dipertimbangkan dengan baik.
“Sudah dua tahun lebih rencana pelarangan pukat tarik dan pukat hela diumumkan, harusnya perusahaan sudah bisa beradaptasi, melakukan review opsi dan melakukan inovasi yang realistis. Bukan memaksakan cantrang untuk terus beroperasi,” katanya.
Zulficar juga menegaskan pemerintah tak pernah melarang nelayan Indonesia menangkap ikan di perairan Nusantara, tetapi hanya melarang penggunaan alat tangkap yang tak ramah lingkungan.
Menurut dia, alat tangkap cantrang buka satu-satunya alat tangkap ikan yang ada di Tanah Air. Solusi pemenuhan bahan baku pun, lanjutnya, tidak harus menggunakan alat tangkap ikan jenis pukat tarik itu.
Zulficar menegaskan pemerintah akan tetap melakukan melarang penggunaan cantrang demi mendukung kebijakan tata kelola perikanan secara berkelanjutan guna memberi manfaat ekonomi dan ekologis bagi negara, nelayan, dan pemangku kepentingan lainnya.
“Kenaikan PDB (produk domestik bruto), nilai tukar nelayan, indeks usaha perikanan, produksi perikanan, dan sebagainya adalah wujud nyata manfaat yang ada,” ujarnya.
Dia menyampaikan keinginan KKP mendorong pola usaha perikanan yang berkelanjutan sehingga pelaku usaha perlu realistis memformulasi kebutuhan bahan baku dan sumber alternatifnya, termasuk orientasi dan diversifikasi produk.
“Pemerintah tentu tidak duduk diam. Kami siap duduk bersama membantu mendiskusikan dan membantu opsi-opsi yang ada. Perusahaan juga perlu lebih transparan dengan rencana dan status usahanya agar pelaksanaan lebih optimal. KKP saat ini juga sudah turunkan tim Balitbang untuk mereview hal tersebut,” katanya.
Sebelumnya dilaporkan, pabrik-pabrik surimi di Jawa mulai lumpuh akibat kelangkaan bahan baku seiring dengan larangan penggunaan alat penangkap ikan cantrang mulai 1 Januari 2017 (Bisnis, 26/1).