Bisnis.com, JAKARTA – Perkumpulan Masyarakat Gambut Indonesia (HGI) siap mendukung langkah pengelola lahan gambut yang akan mengajukan uji materi PP No. 57/2016 tentang Perubahan PP No. 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Ketua HGI Supiandi Sabiham mengatakan perumusan beleid tersebut cacat prosedur karena tidak memiliki naskah akademik. Pasalnya, kalangan masyarakat ilmiah yang berkompeten seperti HGI tidak diajak untuk menyusun PP No. 57/2016.
“Landasan ilmiah tidak ada. PP itu lebih sebagai political decision,” katanya saat dihubungi Bisnis.com, Selasa (31/1/2017).
Salah satu keberatan HGI adalah terkait tinggi muka air tanah lahan gambut sedalam 0,4 m. Jika muka air lebih rendah, lahan gambut budi daya dinyatakan rusak.
Supiandi mengungkapkan pengelola lahan gambut akan dirugikan dengan ketentuan itu. Padahal, lahan gambut masih bisa diusahakan bahkan jika tinggi muka air lebih dalam dari 0,4 m.
Karena itu, sambung Guru Besar Kimia Tanah Institut Pertanian Bogor (IPB) ini, wajar bila masyarakat maupun pengusaha mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung. Sebab merekalah yang merasakan langsung dampaknya.
“Malahan saya dengar masyarakat Riau tidak hanya mengajukan uji materi, tetapi class action segala. HGI siap memberikan landasan ilmiahnya,” katanya.
Supiando mencontohkan dari 11 juta hektare (ha) luas perkebunan kelapa sawit Indonesia, yang berdiri di lahan gambut sekitar 1,2 juta ha-1,5 juta ha. Dari jumlah tersebut, sekitar 40% diusahakan oleh masyarakat.
“Jadi bisa dibayangkan kalau sampai dibekukan. Kerugian tidak hanya materi tapi tenaga kerja akan banyak masalah,” ujarnya.
Di tempat terpisah, Peneliti Departemen Ilmu Tanah Dan Sumber Daya Lahan IPB Basuki Sumawinata sebelumnya menilai mustahil bagi tanaman monokultur bisa bertahan dengan tinggi muka air 0,4 m. Pasalnya, pengelola lahan paling tidak harus membasahi lahan hingga 0,1 m guna mengantisipasi kekeringan di bulan-bulan berikutnya.
Menurut dia, kondisi basah ini tidak cocok untuk komoditas akasia dan kelapa sawit yang banyak diusahakan di lahan gambut. “Artinya tanaman itu harus dihentikan dan lahan gambut budi dayanya dikembalikan jadi fungsi lindung,” katanya.
Jika beralih fungsi, Basuki mengungkapkan akan ada 2 juta ha konsesi hutan tanaman industri (HTI) dan 1,2 juta ha perkebunan kelapa sawit di lahan gambut budi daya yang terkena dampak.
Padahal, HTI akasia merupakan bahan baku industri pulp dan kertas yang nilai ekspornya mencapai US$5 miliar sedangkan kelapa sawit menyumbang devisa US$18 miliar.