Bisnis.com, JAKARTA -- Wacana pemerintah yang bakal menerapkan pajak progresif untuk investasi lahan dikhawatirkan pengembang properti bakal mengerek harga jual.
Pasalnya, biaya pengembangan proyek bakal meningat bila lahan yang menjadi bahan baku utama produk properti juga dikenakan pajak.
Adrianto P. Adhi, Direktur Utama PT Summarecon Agung Tbk. mengatakan pemerintah harus memperjelas definisi mengenai tanah terlantar yang rencananya bakal dikenai pajak progresif. Dia menekankan, cadangan lahan atau lahan yang sudah dibebaskan tapi belum dikembangkan tidak tergologn tanah terlantar.
Tanah yang belum dikembangkan menurut Adrianto tergolong cadangan lahan yang akan dikembangkan sesuai dengan rencana bisnis. Pengembangan itu tidak dilakukan serempak melainkan bertahap. "Apabila tanah persediaan itu dikenakan pajak progresif, itu akan berdampak kepada harga jual karena pengembang akan hitung semua cost tanah," jelasnya kepada Bisnis.com, Kamis (26/1).
Sebagaimana diketahui, Menteri Agraria & Tata Ruang (ATR), Sofyan Djalil sebelumnya mengatakan pihaknya bakal membuat reuglasi yang mengatur investasi tanah. Ketentuan tersebut menurut Sofyan bakal dicantumkan dalam salah satu pasal pada revisi undang-undang pertanahan.
Adrianto menegaskan, pengembang bisa memahami alasan pemerintah dalam mewacakan pajak progresif untuk tanah terlantar. Wacana ini memang dimaksudkan untuk meredam aksi spekulasi lahan yang menyebabkan harga tanah melambung secara tidak wajar. Oleh karena itu, dia menerangkan, kebijakan pajak progresif akan tepat sasaran bila diberlakukan kepada pemilik tanah dari kalangan individu.
Untuk diketahui, saat ini tanah merupakan objek pajak bumi dan bangunan atau PBB. Tarif PBB dipatok 0,5 % nilai jual kena pajak atau NJKP. Adapun jumlah NJKP adalah 20% dari nilai jual objek pajak (NJOP). Bila ada transaksi jual beli tanah, pihak terkait juga bakal dikenakan pajak berupa bea perolehan hak atas tanah dan bangunan atau BPHTB sebesar 5%.