Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

TRIK PROPERTI: 2017, Saatnya Pasar Properti Bangkit Setelah Lama ‘Tertidur’

Kondisi perekonomian Indonesia yang lesu sejak 2015 silam ternyata berimbas cukup menyakitkan bagi sektor properti. Di 2016, efek beragam kebijakan yang digelontorkan Pemerintah juga sempat membuat banyak pihak meyakini bahwa pasar properti akan kembali bergairah, meski sayangnya kenyataannya berkata lain.

Kondisi perekonomian Indonesia yang lesu sejak 2015 silam ternyata berimbas cukup menyakitkan bagi sektor properti. Di 2016, efek beragam kebijakan yang digelontorkan Pemerintah juga sempat membuat banyak pihak meyakini bahwa pasar properti akan kembali bergairah, meski sayangnya kenyataannya berkata lain.

Menurut Vivin Harsanto, selaku Head of Advisory JLL Indonesia, pasar properti, khususnya di area Jakarta, sepanjang tahun 2016 masih masuk kedalam kategori ‘pemulihan’.

“Awal tahun 2016 masih dibayangi oleh perlambatan ekonomi yang terjadi di 2015, dengan depresiasi rupiah dan penurunan harga minyak dunia. Namun aktivitas pasar yang lebih baik di 2016 membuat para investor dan pelaku bisnis properti tetap optimis, khususnya untuk sektor perkantoran dan kondominium,” katanya.

Senada dengan Vivin, Muhammad Sulhan Fauzi dari Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Bagian Konstruksi dan Infrastruktur mengatakan bahwa 2017 sudah sepatutnya menjadi titik terang bagi instrumen properti di Indonesia.

KADIN, sambung Sulhan, turut menyokong akselerasi pasar properti dengan mengandalkan peran infrastruktur. Jika infrastruktur berkembang dengan baik maka diharapkan bisa menjadi stimulus bagi para pengembang untuk membangun proyek di sekitarnya.

“Ppara pengembang sudah cukup lama tertidur sejak dua tahun silam. Kami melihat ekonomi Indonesia cukup stabil di 2017, namun perlu lebih banyak inovasi lagi, terutama di segi kebijakan Pemerintah untuk membuat performa pangsa properti berkembang lagi,” tukasnya.

Untuk penyelesaian pembangunan sektor infrastruktur, Pemerintah hingga tahun 2020 bakal menyalurkan anggaran sebanyak Rp5.500 Triliun. Bagi Sulhan, dana sebesar itu semestinya tidak hanya dialokasikan untuk infrastruktur saja, melainkan juga untuk menggerakan sektor riil.

Menurutnya, angka tersebut jika hanya dimanfaatkan untuk sisi infrastruktur saja tidak akan banyak mendorong sektor riil. Sementara kita tahu properti sangat berperan dalam membangkitkan sektor riil.

“Setiap kali kita mengembangkan sektor properti, itu berarti ada kurang lebih 174 industri turunannya yang akan terlibat. Nah, dengan begitu maka hal ini juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia sehingga lebih baik. Begitu pula dengan sektor-sektor lain yang terkait dengan properti, akan tumbuh merata pula,” urainya.

Sulhan juga memaparkan pendapatnya mengenai aturan terbaru Loan to Value atau LTV. Menurutnya, Pemerintah, khususnya Bank Indonesia (BI), seharusnya bisa memberi relaksasi yang lebih fleksibel lagi dalam hal ini.

“Regulasi-regulasi yang menghambat laju sektor properti di 2017 sepatutnya dapat diminimalisir. Contohnya LTV, saya berharap bisa diturunkan dari 15% menjadi 5% saja,” tandasnya.

Menurut Wasudewan, Country Manager Rumah.com, kebijakan terkait LTV akan memberi angin segar bagi dunia properti di Tanah Air. “Kebijakan DP yang terjangkau akan sangat membantu bagi pembeli pertama. Dan bagi developer serta agen properti, kebijakan ini juga akan mendukung mereka agar transaksi meningkat,” tambahnya.

Namun tak bisa dipungkiri bahwa terobosan yang dilakukan BI ini juga mengandung risiko bagi pihak bank, misalnya non performing loan atau kredit macet.

 

Kebijakan Tergantung Situasi

Menanggapi pendapat Sulhan, Deputi Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial Divisi Asesmen Korporasi dan Rumah Tangga Bank Indonesia, Ita Rulina, menyebut kebijakan makroprudensial untuk sektor properti sebenarnya bisa dikeluarkan asal situasi sistem keuangan tengah konstan.

“Kami lihat dulu risikonya, apakah bakal meningkat atau tidak. Kalau diprediksi meningkat, kebijakan tentu akan berbeda. Tapi kalau BI merasa pertumbuhannya masih perlu didorong dan risikonya cenderung menurun, bisa saja kami keluarkan kebijakan yang insentif,” terangnya.

Menyangkut kebijakan makroprudensial, menurut Ita ada dua pendekatan yang dianut BI, yakni kebijakan yang sifatnya mengerem dan mengegas.

“Mengerem atau kontraktif dilakukan apabila perilaku pemberian kredit yang berlebihan oleh bank kepada sektor properti, tercatat meningkat di saat keadaan ekonomi juga meningkat.”

Sedangkan kebijakan yang sifatnya mengegas atau ekspansi, akan BI keluarkan jika perekonomian masih lesu dan pada saat yang sama bank ikut-ikutan mengerem pemberian kreditnya. “Pada saat inilah kebijakan yang tujuannya mendorong sektor properti bakal kami cetuskan,” tambahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Rumahku.com
Sumber : Rumahku.com
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper