Bisnis.com, JAKARTA – Naiknya harga barang ekspor membuat nilai pengapalan dari Indonesia pada November 2016 melesat. Kendati menjadi indikasi pemulihan, performa ini tetap menyisakan risiko karena permintaan global masih melemah.
Secara bulanannya, ekspor Indonesia November 2016 senilai US$13,49 miliar, naik 5,91% dibandingan Oktober senilai US$12,74 miliar. Padahal, volume pada bulan lalu tercatat 46,19 juta ton, turun 2,49% dibandingkan dengan bulan sebelumnya 47,37 juta ton.
Sementara, secara tahunannya, capaian nilai ekspor tersebut mengalami pertumbuhan hingga 21,34%, setelah tahun lalu anjlok sekitar 17,88%. Adapun, performa volume mengalami pertumbuhan 11,12% karena capaian volume ekspor November 2015 sebesar 41,57 juta ton.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Sasmito Hadi Wibowo mengatakan kenaikan kinerja ekspor tersebut didorong sektor ekstraktif tradisional seperti crude palm oil (CPO) dan batu bara.
Peningkatan ekspor tertinggi yakni lemak dan minyak hewan/nabati dengan peningkatan US$366,1 juta (month to month/mtm). Kemudian, empat barang lainnya yang mengalami peningkatan nilai ekspor a.l. bahan bakar mineral (US$141,6 juta), perhiasan/permata (US$87,3 juta), bijih kerak, dan abu logam (US$73,6 juta), dan pakaian jadi bukan rajutan (US$65,5 juta).
Rata-rata harga agregat barang ekpor Indonesia, lanjut Sasmito, secara total meningkat 8,61% (mtm) atau 9,19% (year on year/yoy). Harga rata-rata untuk migas sebenarnya mengalami penurunan 1,82% (mtm) atau 6,22% (yoy), tapi untuk nonmigas mengalami kenaikan 9,45% (mtm) atau 12,12% (yoy).
Menurutnya, kinerja ekspor pada bulan lalu merupakan indikasi pemulihan atau kembalinya arah normal setelah selama ini mengalami kontraksi. Apalagi, nilai ekspor sudah mencapai posisi tertinggi setidaknya sejak April 2015.
“Ini back to normal setelah selama ini menurun terus. Saya kira ekspansi ini akan terus menerus. Kalau melihat ini, tren Desember akan terus membaik, paling enggak serupa,” ujarnya dalam konferensi pers, Kamis (15/12/2016).
Kendati demikian, pihaknya melihat pertumbuhan ekspor ke depan memang tidak terlalu signifikan jika terus mengandalkan sumber daya alam. Oleh karena itu, diversifikasi jenis barang dan negara tujuan menjadi penting.
Terkait potensi terjadinya kebijakan yang lebih proteksionis di negara-negara lain, termasuk Amerika Serikat, pihaknya justru tidak melihat hal tersebut karena tidak semua negara bisa menyediakan kebutuhannya sendiri secara mandiri.
Sasmito justru mengkhawatirkan terjadinya kenaikan harga minyak yang pada gilirannya berpotensi menekan neraca perdagangan karena akan ada kenaikan impor. Oleh karena itu, selain barang-barang tradisional ekspor – yang berbasis sumber daya alam –, peningkatan produk manufaktur juga penting.
Risiko
Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih berpendapat performa ekspor tersebut memang positif tapi menyisakan risiko, karena bukan sepenuhnya mencerminkan kenaikan permintaan global.
“Ekspor itu ya sejatinya yang mewakili dari sisi volume. Sejauh ini, volume belum membaik sehingga ekonomi dunia belum bisa diandalkan,” katanya.
Pasalnya, kenaikan harga tidak selalu mencerminkan kenaikan permintaan tapi sentimen, termasuk penurunan produksi. Oleh karena itu, perbaikan yang lebih dominan disebabkan faktor harga cenderung bukan dari sisi fundamental.
Oleh karena itu, pihaknya meminta agar pemerintah tetap konsisten untuk melakukan diversifikasi produk ekspor. Selain itu, sambungnya, dalam situasi seperti pemerintah masih tetap belum bisa mengandalkan perdagangan internasional untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.
Ekonom Senior Kenta Institute Eric Sugandi menilai peluang suplus neraca perdagangan akibat kenaikan ekpsor masih ada ke depannya karena ada peningkatan harga komoditas. Namun, surplus sepanjang tahun depan bisa menurun dibanding tahun ini jika Amerika Serikat benar-benar menerapkan kebijakan proteksionis.
Selain itu, dampak dampak tidak langsung juga terjadi jika pertumbuhan ekonomi China melambat karena ekspornya terganggu langkah Amerika Serkat. Alhasil, ekspor Indonesia ke China - terutama komoditas energi - bisa ikut terganggu.
Dengan nilai ekspor pada November 2016 mencapai US$13,50 miliar dan impor senilai US$12,66 miliar, Indonesia kembali mencatatkan surplus neraca perdagangan senilai US$0,84 miliar.
“Selain itu perlu diwaspadai juga kemungkinan makin derasnya impor dari China ke Indonesia karena China melakukan diversifikasi tujuan ekspornya jika Amerika Serikat menerapkan kebijakan proteksionis,” katanya.