Bisnis.com, JAKARTA - Dosen perikanan dari Institut Pertanian Bogor Nimmi Zulbainarni memandang tudingan cantrang merusak lingkungan adalah keliru. Dalam kajiannya, cantrang berbeda dengan trawls.
Pengoperasian trawls dilakukan dengan menyeretnya di dasar perairan, sedangkan cantrang ditarik di kolom air. Menurutnya pula, isu tidak ramah lingkungan sesungguhnya lebih kepada bagaimana alat tangkap cantrang dioperasikan.
"Jika alat tangkap ditarik di kolom perairan dan mesh size (mata jaring) jaring kantong yang digunakan tidak terlalu kecil, maka alat tangkap ini seharusnya tidak merusak lingkungan," jelasnya dalam kajian tentang dampak pelarangan cantrang di Jawa Tengah.
Untuk itu, lanjutnya, yang lebih diperlukan adalah kebijakan pengendalian jumlah alat tangkap cantrang dengan mengontrol ukuran mata jaring bagian kantong, untuk melihat apakah alat tangkap itu ditarik di kolom air atau diseret di dasar perairan.
Sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 42/2014, ketentuan ukuran mata jaring minimal 2 inci. Berdasarkan kajian Nimmi di Jateng, sebanyak 50% nelayan di provinsi itu menggunakan cantrang sejak 35 tahun lalu.
Data Dinas Kelautan dan Perikanan Jateng menyebutkan 1.223 dari 2.672 armada perikanan di provinsi itu menggunakan alat tangkap cantrang.
Dari perhitungannya, jika alat tangkap itu dilarang, maka dampak ekonomi (kehilangan pendapatan pelaku usaha, mulai dari nelayan, pengolahan ikan, hingga pengrajin tali selambar) dan dampak sosial (kehilangan pekerjaan 66.621 tenaga kerja) di Jateng akan besar setara Rp3,4 triliun.
"Nilai ini dapat menunjukkan kompensasi yang seharusnya dipertimbangkan pemerintah pemerintah jika ingin menghapuskan alat cantrang," tutur Nimmi.