Bisnis.com, JAKARTA -- Investor sektor pangan dan pertanian kini dapat mengajukan kerja sama pemanfaatan hutan untuk dapat mengembangkan investasi di sektor pertanian. Pola kerja sama diharapkan dapat menjadi solusi sulitnya mencari lahan untuk investasi sektor pangan strategis.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) belum lama ini menerbitkan aturan resmi soal pemanfaatan hutan untuk pangan yaitu PermenL LHK Nomor P.81/2016 tentang Kerjasama Penggunaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan untuk Mendukung Ketahanan Pangan.
Dengan adanya regulasi tersebut, ada beberapa kawasan hutan baik yang dikelola langsung oleh KLHK, Perhutani, maupun Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dapat digunakan oleh investor padi, jagung, peternakan sapi, dan pengembangan tebu sebagai bahan baku gula.
Sta Ahli Menteri LHK Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam Agus Justianto mengakui banyak perizinan lahan yang sudah terealisasi saat ini tidak sesuai dengan peruntukannya sehingga tidak sedikit lahan yang tidak termanfaatkan meski izinnya sudah bertahun-tahun lalu.
“Ada perintah presiden untuk menyiapkan lahan investasi dengan menggunakan kawasan hutan. Kawasan hutan yang ada sudah dibagi habis ke perusahaan dan BUMN. Dengan adanya Permen P.81/2016, ada aturan main untuk kerja sama pemanfaatan lahan hutan,” kata Agus pada Bisnis, Rabu (30/11/2016).
Agus menjelaskan lahan hutan yang dapat dikerjasamakan yaitu hutan produksi yang sudah terdegradasi, hutan yang dikelola BUMN, dan hutan yang dikelola Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Total hutan produksi di Indonesia mencapai 67 juta hektare.
Berdasarkan informasi yang dihimpunnya, saat ini telah terdapat 18 perusahaan yang tengah menjajaki kerja sama pemanfaatan lahan baik dengan Perhutani, Inhutani, maupun KPH. Sebanyak lima di antaranya telah menandatangani kesepakatan (MoU) dan tengah merealisasikan investasinya.
“Dengan kerja sama seperti ini, ada sekitar 4,59 juta ha lahan yang tersebar di seluruh Indonesia yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman tebu. Yang diminta oleh investor memang yang clean and clear itu sangat susah [penyediaannya],” ungkap Agus.
Dia mengakui saat ini sangat banyak lahan yang izinnya sudah terlanjur diberikan namun penyediaannya tidak rapi sehingga tumpang tindih antara perusahaan satu dengan yang lainnya.
Ketua Upaya Khusus Percepatan Investasi Pertanian Syukur Iwantoro menyampaikan keberadaan lahan di Tanah Air memang sangat potensial untuk mengembangkan industri-industri pangan baru terutama yang impornya masih tinggi yaitu peternakan sapi, tanaman jagung, dan tebu sebagai bahan baku pabrik gula.
Kendati demikian, dia mencatat sejumlah investor terhambat realisasinya karena di lapangan, lahan yang ingin dikembangkan ternyata telah menjadi konsesi perusahaan lain namun belum dimanfaatkan meski izinnya sudah diperoleh bertahun-tahun lalu.
Syukur menjelaskan saat ini banyak investor yang tengah mengantri untuk lahan-lahan yang data mereka gunakan baik untuk membangun peternakan, kebun tebu, mapun lahan jagung.
“Sekarang mereka sedang menunggu revisi regulasi oleh pemerintah,” kata Syukur.
Dia merujuk pada sejumlah regulasi yang belum lama ini telah diamanahkan Seskab pada pemerintah untuk direvisi untuk mempermudah pengalokasian lahan untuk investasi.
Salah satu regulasi yang diajukan untuk direvisi misalnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan.
“Untuk bekerjasama di hutan produksi, perusahaan sektor pertanian harus membayar PNBP Rp1,6 juta per ha per tahun. Walaupun kerjasama, tidak ada perusahaan yang berani karena di sektor pertanian, keuntungan pengusaha tidak bisa di dapat langsung dalam waktu singkat,” jelas Syukur.