Bisnis.com, JAKARTA - Generasi penerus "kerajaan" bisnis keluarga dinilai lebih cepat merencanakan penawaran saham ke publik atau melakukan penjualan sebagian bisnis mereka dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
Demikian salah satu simpulan dari survei global terbaru atas 2.800 bisnis keluarga di 50 negara yang dilakukan oleh PwC, perusahaan yang merupakan gabungan dua firma, Price Waterhouse dan Coopers & Lybrand.
Meskipun kondisi ekonomi dunia masih diliputi ketidakpastian, disebutkan bahwa hampir dua pertiga (64%) bisnis keluarga mencatat pertumbuhan selama setahun terakhir.
Sektor bisnis keluarga tetap memiliki rencana ambisius dan merencanakan pertumbuhan bisnis selama lima tahun ke depan meskipun ada perlambatan ekonomi global. Berdasar survei tersebut, hanya satu dari lima bisnis keluarga yang melaporkan penurunan penjualan dalam waktu dua tahun terakhir.
"Bisnis keluarga di Asia Pasifik adalah yang paling ambisius, karena 21% dari mereka merencanakan pertumbuhan terpesat dan teragresif menurut temuan survei global PwC tentang bisnis keluarga yang diadakan dua tahun sekali: The ‘Missing Middle’: Bridging the strategy gap in family firms.
"Bisnis keluarga di Indonesia juga optimis tentang prospek pertumbuhan di tahun-tahun mendatang, dengan rencana mereka yaitu berfokus kepada bisnis utama di pasar yang sudah ada dengan melakukan ekspansi ke area bisnis atau pasar yang baru," ujar Michael Goenawan, Entrepreneurial and Private Clients Leader dari PwC Indonesia.
Mayoritas dari mereka, lanjut Michael, berpendapat bahwa kekuatan bisnis keluarga berada dalam kemampuan kewirausahaan, organisasi yang lebih efektif dan sederhana, dan pengambilan keputusan yang dapat lebih cepat dilakukan.
"Bisnis keluarga di Indonesia juga mengakui pentingnya peranan digitalisasi dan manfaatnya terhadap bisnis mereka.," tuturnya.
Bisnis keluarga di Eropa Barat dan Amerika Utara dinilai memiliki ambisi yang lebih rendah dalam perencanaan pertumbuhan bisnis yang cepat dan agresif (masing-masing 10% dan 12%). Itu terjadi karena responden di kawasan ini sebagian besar memprediksi pertumbuhan ekonomi yang stabil.
Secara global, 15% responden merencanakan pertumbuhan yang pesat dan agresif dan 70% responden merencanakan pertumbuhan yang stabil selama lima tahun ke depan.
Dalam jangka pendek, responden menyatakan Brexit tidak berpengaruh terhadap rencana pertumbuhan bisnis mereka (hanya 15% dari responden global yang mengatakan Brexit akan berdampak negatif).
Tingkat kekhawatiran tentang dampak Brexit dalam waktu 1-2 tahun ke depan berada pada tingkat tertinggi di Inggris (38%, lebih dari dua kali lipat rerata responden global sebesar 15%) dan di antara negara-negara Uni Eropa (22%). Secara global, 83% mengatakan mereka tidak berencana untuk mengambil tindakan khusus karena Brexit.
Meski pertumbuhandiperkirakan stabil, pertumbuhan bisnis keluarga dapat terhalang oleh kurangnya perencanaan strategis dalam perusahaan dibandingkan dengan faktor ekonomi atau faktor eksternal lainnya.
"Faktanya, banyak permasalahan yang kini dihadapi oleh bisnis keluarga disebabkan oleh kurangnya perencanaan strategis (‘the missing middle’)– yaitu rencana strategis yang menghubungkan antara posisi bisnis saat ini dan aspirasi jangka panjang atau potensi di mana bisnis mereka seharusnya berada," demikian dinyatakan dalam keterangan resmi PwC, diterima Jumat (4/11/2016).
Akibatnya, banyak perusahaan keluarga yang tidak dapat melanjutkan keberhasilan di awal bisnis menjadi sukses yang berkesinambungan.
Sebagian bisnis keluarga sudah dapat mengelola perencanaan strategis dengan baik, namun banyak dari mereka yang terjebak dalam isu-isu operasional dan perbedaan ekspektasi antara generasi awal dengan generasi penerus dari bisnis keluarga.
PwC juga menemukan dari beberapa survei yang telah dilakukan aspek-aspek yang terkait suksesi, diversifikasi bisnis, digital, keamanan siber, dan inovasi tidak ditangani dengan baik.
“Sangat jelas perusahaan keluarga akan tetap menjadi bagian yang vital dari ekonomi di dunia karena kontribusi terhadap PDB dan penciptaan lapangan pekerjaan yang besar di berbagai negara,” ulas Stephanie Hyde, Global Entrepreneurial & Private Business leader, PwC.
“Secara keseluruhan dapat disimpulkan kinerja dan prospek pertumbuhan perusahaan keluarga akan tetap kuat karena tahap profesionalisasi bisnis yang telah dilakukan, namun sayangnya perencanaan strategis belum dilakukan dengan baik. Tanpa perencanaan strategis, ambisi pertumbuhan bisnis yang tinggi hanya akan sekedar menjadi aspirasi. Pertumbuhan dan perluasan bisnis menjadi terbatas dan perusahaan terpapar dengan risiko tambahan yang belum diantisipasi,” ujarnya.
Dalam tiga survei berturut-turut, bisnis keluarga rata-rata telah memiliki sekitar seperempat dari penjualan ke luar negeri dengan aspirasi meningkatkannya menjadi sepertiga dari total penjualan.
Sayangnya dalam setiap survei, realisasi penjualan internasional tersebut masih berkutat di kisaran 25%. Satu dari tiga bisnis keluarga masih hanya beroperasi di satu sektor saja dan di negara asal mereka dan sekitar 80% bisnis keluarga merencanakan untuk mulai mengekspor produk mereka dalam waktu lima tahun mendatang. Sejumlah tantangan utama yang diidentifikasi oleh responden (lebih dari 2.800 bisnis di 50 negara) yang berkaitan dengan perencanaan strategis mereka:
Survei menemukan data lain sbb:
- Pewarisan: Hanya 16% bisnis keluarga memiliki proses suksesi yang mencakup eksekutif senior, 43% tidak memiliki rencana sama sekali
- IInovasi: 64% memilih inovasi sebagai tantangan utama agar tetap unggul selama lima tahun ke depan
- Digital: 47% memilih masalah aplikasi digital dan teknologi baru menjadi tantangan utama mereka, namun hanya seperempat yang berpendapat bisnis mereka rentan terhadap digital disruption
- Profesionalitas: tiga dari lima responden mengatakan mereka akan mempekerjakan para profesional yang bukan anggota keluarga untuk membantu menjalankan bisnis
- Keahlian: 58% mengatakan kemampuan mereka untuk menarik dan mempertahankan karyawan dengan keahlian yang sesuai adalah tantangan utama selama lima tahun ke depan. Nyaris separuh meyakini bahwa mereka harus bekerja lebih keras dibandingkan perusahaan nonbisnis keluarga untuk merekrut/mempertahankan SDM yang baik (48%)
- Keuangan: Sepertiga mengatakan semakin sulit bagi mereka untuk mengakses modal (32%) dibandingkan dengan perusahaan nonbisnis keluarga. Tiga perempat (76%) mengatakan mereka akan menggunakan modal mereka sendiri untuk mendanai pertumbuhan
- Keamanan siber: Kurang dari separuh (45%) meyakini bisnis mereka telah siap menghadapi kebocoran data atau serangan siber
- Kekhawatiran geopolitik: Mayoritas bisnis keluarga mengidentifikasi stabilitas politik dan ekonomi lebih penting dibandingkan potensi pertumbuhan ketika mempertimbangkan pasar ekspor yang baru
- Kehidupan kerja: Anggota keluarga generasi penerus berpandangan mereka harus bekerja lebih keras untuk membuktikan keberhasilan mereka dibandingkan generasi saat ini (88% vs 66%). Dua pertiga responden mengatakan kinerja mereka telah diukur dengan sesuai (65% vs 59%)
Peter Bartels, Global Family Business Leader, PwC, menilai "hasil survei terkait suksesi bisnis masih menunjukkan tema yang berulang. Suksesi adalah isu yang rentan menjadi masalah yang besar dalam bisnis keluarga."
"Cukup disayangkan jika fokus perusahaan hanya pada kesinambungan bisnis di kala risiko suksesi tidak ditangani padahal dapat berdampak serius. Proses suksesi yang direncanakan dengan baik akan menjadi titik yang mempersatukan keluarga, saat untuk berinovasi dan berubah untuk menghadapi perubahan kondisi bisnis yang ada. Tanpa rencana suksesi, hal ini dapat menjadi faktor kegagalan dari bisnis keluarga,” lanjutnya.
Ia meyakini bahwa peran generasi penerus sangat penting dalam menciptakan masa depan bisnis keluarga.
"Mayoritas bisnis keluarga di seluruh dunia berpendapat mereka tidak rentan terhadap digital disruption dan mereka sudah memiliki strategi digital yang sesuai. Padahal berdasarkan pengalaman kami, dampak digitalisasi tidak bisa dianggap ringan. Akan sangat baik jika generasi sekarang mendengarkan pendapat dari generasi penerus dan mereka bisa ditunjuk untuk melakukan transformasi digital di bisnis keluarga,” tegas Barteis
Laporan ini juga menyimpulkan dalam era ketidakpastian kondisi ekonomi seperti saat ini, prioritas untuk memastikan agar bisnis tetap dimiliki oleh keluarga menjadi tidak begitu tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
"Kurang dari separuh bisnis keluarga berencana untuk mengalihkan kepemilikan dan manajemen bisnis kepada generasi penerus (39% akan mengalihkan peran manajemen; 34% akan mengalihkan kepemilikan). Persentase pemilik bisnis generasi pertama yang merencanakan untuk menjual atau menawarkan bisnis mereka naik hampir dua kali lipat (29% dibandingkan dengan 17% pada survey sebelumnya."