Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengusulkan tiga langkah konkret untuk membenahi sistem logistik nasional.
Ketiganya adalah, pertama dengan cara mengoptimalkan peran pelabuhan darat (dry port). Hal itu dinilai mendesak guna meningkatkan daya saing industri nasional serta memperlancar arus ekspor-impor.
“Kalau berbicara logistik, harus mengacu pada daya saing dan efisiensi. Peran dry port sudah mengarah pada efisiensi supply chain. Oleh karena itu, perlu dioptimalisasi dengan dukungan pemerintah,” kata Sekjen API Ernovian G Ismy, dalam keterangan pers yang diterima, Selasa (25/10/2016).
Menurut dia, optimalisasi itu sangat dibutuhkan industri nasional di saat persaingan global makin ketat. Dengan berbagai paket kebijakan yang diusung pemerintah, lanjut dia, saat ini menjadi momentum tepat guna melakukan optimalisasi peran dry port dengan tiga langkah konkret.
“Memperkuatan sinergi antara dry port, pengelola pelabuhan, dan instansi yang terkait di pelabuhan. BUMN pelabuhan yakni Pelindo mesti bersinergi dengan dry port, bukan bersaing. Hal ini penting untuk menjaga kesinambungan serta kepastian berusaha,” ujarnya.
Ernovian menegaskan sinergi seperti itu mesti dimaknai sebagai kepentingan nasional, agar produk Indonesia berdaya saing dibanding produk luar. “Bahkan, kalau perlu pemerintah didorong memiliki saham di dry port agar integrasi bisa berjalan untuk menopang sistem logistik nasional yang efisien,” tuturnya.
Integrasi itu salah satunya rencana pemerintah memindahkan proses pemeriksaan kontainer, berupa pre-custom clearance, custom clearance, dan post-custom clearance, ke dry port, bukan di pelabuhan seperti Tanjung Priok. Tujuannya, untuk mengurangi waktu tunggu dan bongkar muat (dwelling time) di pelabuhan.
Ernovian menilai momentum pembenahan sistem logistik nasional perlu dipercepat seiring dengan tuntutan persaingan global yang mengarah pada efisiensi dan daya saing.
Tanpa daya saing, ujarnya, industri nasional akan kesulitan bertarung dengan produk luar, bukan hanya di pasar internasional, tapi juga di pasar lokal.
“Kita perlu sadari, bahan baku industri nasional banyak masih diimpor seperti kapas. Jadi daya saing industri itu juga dipengaruhi strategi membuat harga bahan baku kompetitif, salah satunya dengan cara mengefisienkan dan mempercepat jalur logistik,” katanya.
Kedua, menurut dia, dry port diperbanyak di daerah sentra/kawasan industri dan didukung dengan multimoda transportasi yang efisien. Multimoda transportasi terutama jalur kereta, lanjut Ernovia, mesti dibedakan antara kereta penumpang dan kereta barang.
Selain itu, terminal bongkar muat di jalur kereta juga perlu dibangun secara efisien. “Saya sudah dengar rencana pemerintah membangun kereta semicepat Tanjung Priok-Surabaya yang akan diintegrasikan dengan dry port. Ini perlu didukung agar realisasinya bisa cepat dan terminal bongkar muat juga diperbanyak,” ucapnya.
Ketiga, lanjut Ernovian, untuk arus ekspor-impor, pengembangan lebih lanjut perlu diarahkan pada memperbanyak jadwal pengangkutan kapal di pelabuhan. Dia menilai selama ini jadwal pengangkutan kapal dua kali seminggu belum mencukupi untuk menopang ekspor-impor industri nasional.
“Pemerintah mesti memberikan sosialisasi kepada pelayaran global bahwa arus ekspor-impor di Indonesia sudah dibenahi sehingga volume pengangkutan kapal di pelabuhan bertambah,” ujarnya.
Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan sebelumnya menegaskan optimalisasi dry port menjadi solusi paling cepat mengatasi masalah dwelling time. Pasalnya, dwelling time di Cikarang Dry Port saat ini hanya 2,12 hari, lebih rendah dibandingkan dengan Pelabuhan Tanjung Priok yang berkisar 3-4 hari.
Menurut Luhut, hasil yang dicapai oleh dwelling time di dry port mesti dioptimalkan guna membantu menurunkan dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok. Dengan adanya dry port, biaya (cost) logistik akan turun, kemacetan di pelabuhan berkurang, dan melahirkan dampak berantai yang positif bagi industri nasional.