Bisnis.com, JAKARTA - Lembaga Pembiayaan Pembangunan Industri harus berdiri sebelum 2019 agar kontribusi industri manufaktur terhadap ekonomi bisa kembali meningkat.
Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Benny Soetrisno mendorong pemerintah dan DPR segera merealisasikan lembaga pembiayaan industri.
Dia mengatakan kehadiran lembaga pembiayaan khusus industri manufaktur sangat mendesak karena dalam beberapa periode terakhir kontribusi industri manufaktur terhadap ekonomi Indonesia semakin merosot.
“Ini harus diuber, harus selesai sebelum 2019. Tidak sulit sebetulnya karena sudah ada contohnya Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. Sangat mendesak karena kontribusi industri kan turun terus, sekarang tinggal 18%,” kata Benny, Rabu (14/9/2016).
Lembaga Pembiayaan Pembangunan Industri adalah amanat dari Undang-undang no. 3/2014 tentang Perindustrian. Rancana Induk Pembangunan Industri Nasional memperkirakan sektor industri manufaktur membutuhkan investasi Rp600 triliun hingga 2020.
Ketua Kadin Indonesia, Rosan Roeslani, mengusulkan pemerintah dan DPR membentuk Lembaga Pembiayaan Pembangunan Industri melalui revisi undang-undang lembaga pembiayaan khusus yang sudah ada.
Dia mengatakan peran Lembaga Pembiayaan Pembangunan Industri bisa diambil oleh salah satu dari dua lembaga pembiayaan yang sudah beroperasi, yaitu Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Indonesia Eximbank) atau PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero).
“Jadi bisa melalui revisi atas UU yang mengatur salah satu lembaga tersebut. Kedua lembaga tersebut juga sudah punya modal permulaan yang cukup besar,” katanya, Rabu (14/9/2016).
Kadin juga mengusulkan pemerintah menetapkan sektor industri prioritas penerima pembiayaan lembaga tersebut sesuai dengan rencana kebijakan pemerintah.
“Harus ada prioritas industri apa yang akan dibangun selama lima tahun ke depan, ini yang akan dibiayai. Misalnya pemerintah ingin fokus di infrastrktur, industri baja dan industri lain yang terkait infrastruktur jadi prioritas,” kata Rosan.
Benny mengatakan pembiayaan adalah salah satu hambatan utama yang membuat pertumbuhan industri manufaktur tertinggal dari sektor ekonomi yang lain.
Dia menjelaskan bisnis industri manufaktur memiliki karakter yang berbeda dengan bidang industri lain seperti ritel atau jasa. Perbedaan karakter tersebut membuat pelaku usaha industri manufaktur membutuhkan pola pembiayaan yang berbeda supaya bisa lebih kompetitif.
Perbedaan utama industri manufaktur, jelas Benny, adalah penggunaan mesin dan peralatan sebagai faktor produksi utama yang menentukan daya saing perusahaan.
Iklim persaingan industri ketat membuat pelaku industri manufaktur tidak bisa memperhitungkan biaya pengadaan mesin dan peralatan dalam menentukan harga produk.
“Singkatnya, orang di industri manufaktur kalau jual barang selalu nyari Ebitda. Jika mereka memasukkan depresiasi pasti enggak kompetitif. Sekarang itu depresiasi dikurangi, bahkan dibuat nol,” papar Benny.
Pola tersebut membuat calon pelaku industri manufaktur kesulitan ketika harus mencari pembiayaan investasi baru atau ketika harus mengganti mesin supaya bisa tetap kompetitif.
“Ketika teknologi mesin sudah absolut, industri harus beli mesin baru. Jika ada bank khusus, bisa lebih cepat. Bank umum kan carinya modal kerja saja,” kata Benny.