Bisnis.com, JAKARTA—Rencana memangkas rantai pasok pangan oleh trio Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mesti dipantau ketat dalam eksekusinya agar tak malah memperburuk keadaan.
Ketua Departemen Ekonomi Centre For Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan rencana pemerintah memangkas rantai pasok pernah digelar pada masa Orde Baru. Namun, aksi tersebut tak berhasil memotong mata rantai melihat mekanisme pasar telah terbentuk selama berpuluh-puluh tahun.
Yose menilai, skema yang ditawarkan pemerintah dengan menjadikan Perum Bulog sebagai entitas utama penyerap dan penyalur bahan pangan mesti mempertimbangkan beberapa hal. Terutama, soal infrastruktur dan kemampuan pendanaan Bulog.
“Kalau tidak melihat kemampuan dan mekanisme di lapangan, jangan-jangan kejadiannya malah memperpanjang mata rantai. Kalau ada keyakinan berhasil, mesti disebutkan bagaimana caranya, jangan sampai ini hanya sebagai rencana untuk menunjukkan ada kerjanya,” tegas Yose kepada Bisnis, baru-baru ini.
Menurut Yose, dengan infrastruktur Bulog saat ini, besar peluang tak tercapainya target penyerapan seluruh hasil produksi. Akibatnya, Bulog bisa saja mengambil hasil produksi dari pengumpul yang lebih kecil.
“Bisa juga untuk menyalurkan ke pasar-pasar, Bulog lewat distributor kecil lagi. Ini sama saja menambah mata rantai, bukan memangkas mata rantai,” jelasnya.
Sebenarnya, Yose mengungkapkan ada cara lain yang bisa dicontoh pemerintah untuk memangkas rantai pasok pangan. Acuannya, yakni aksi para pelaku usaha pasar swalayan yang telah berhasil memotong rantai pasok pangan. Kendati begitu, waktu yang diperlukan untuk aksi pemangkasan itu mencapai lima tahun dan dengan modal yang tak sedikit.
Pemotongan rantai pasok pun tak instan. Untuk memangkas, pengusaha ritel membina petani, lalu memberikan bantuan permodalan, kemudian menyerap produk secara terus menerus.
Contoh lain yakni sistem yang diterapkan di industri kelapa sawit. Sebab, pengusaha sawit skala besar aktif memperdayakan para petani plasma di sekitar kawasan perkebunan sawit.
Lain lagi soal skema penetapan harga pembelian pemerintah (HPP) dan harga eceran tertinggi (HET), Yose menyebut perlu ada insentif untuk implementasi sistem tersebut. “Kalau tak ada insentif yang menarik, hanya akan merusak mata rantai itu.”
Sementara itu, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan pihaknya tengah mencari harga acuan baik di tingkat petani, maupun di pasaran. Rancangannya, awal pekan ini, dua harga acuan itu akan dikeluarkan.
Nantinya, harga tersebut akan menjadi penentu apakah pemerintah masuk dan melakukan intervensi pasar atau tidak. Skemanya, pemerintah akan melakukan evaluasi setiap empat bulan. Jika dari hasil evaluasi harga di petani dan di eceran melampaui harga acuan yang ditetapkan, maka pemerintah akan melakukan intervensi.
Caranya, yakni dengan menyerap seluruh produksi dalam negeri dan menyalurkan ke pasar dengan menggunakan HPP dan HET. Adapun, HPP dan HET akan berupa fix price.
Untuk menjamin infrastruktur, dana, dan mekanisme di lapangan, Oke menyebut pihaknya tengah menyusun payung hukum. “Ini kami sedang lengkapi instrumennya agar tidak tumpang tindih. Konsepnya sudah ada, tinggal memonitor ketersediaan anggaran dan agar tak digugat negara lain terutama kalau sudah menyangkut soal impor,” jelas Oke di Gedung Kemendag, Jumat (19/8).
Bentuk aturan ini, lanjut Oke, akan berupa Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) yang merupakan turunan dari Peraturan Presiden Nomor 71 tahun 2015. Sesuai jadwal, permendag ditargetkan keluar tiga bulan mendatang.