Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah menegaskan kebijakan moratorium izin pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit dari pelepasan kawasan hutan bukan karena tekanan negara asing maupun lembaga swadaya masyarakat.
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) San Afri Awang mengingatkan moratorium adalah bukti komitmen Indonesia untuk menekan pembabatan hutan atau deforestasi. Langkah tersebut sudah disiapkan jauh-jauh hari dan segera dirumuskan dalam bentuk regulasi.
“Kami tidak diperintah siapapun, kami memikirkan sendiri. Jadi LSM tidak boleh klaim atas upaya-upaya deforestasi ini. Jangan numpang klaim-lah,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (18/7/2016).
Dalam rapat di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian akhir pekan lalu pemerintah memutuskan moratorium atau penundaan izin perkebunan kelapa sawit berlaku selama 5 tahun atau sampai 2021. Kebijakan itu akan dipayungi instruksi presiden yang diharapkan paling lambat pada awal Agustus 2016.
Selama masa moratorium, KLHK akan menangguhkan permohonan izin pelepasan kawasan hutan seluas 950.000 hektare (ha) yang kini tengah menunggu izin prinsip. Selain itu, pemerintah akan mengevaluasi sekitar 2,3 juta hektare (ha) lahan perkebunan kelapa sawit ilegal di sejumlah daerah. Evaluasi juga dilakukan terhadap perkebunan yang sudah mendapatkan hak guna usaha (HGU) tetapi belum digarap pemenang konsesi.
“Secara total ada sekitar 3,5 juta ha lahan dari izin pelepasan yang menjadi obyek moratorium. Yang sudah pasti di-hold itu 950.000 ha dari pelepasan,” kata Awang.
Awang mengkalkulasi penangguhan pelepasan 950.000 ha hutan setidaknya bisa mencegah emisi 0,26 Gigaton karbon bila seluruhnya dikonvensi menjadi kebun sawit. Dengan demikian, kebijakan tersebut selaras dengan komitmen Indonesia memangkas emisi karbon sebesar 29% pada 2030.
“Moratorium ini memang harus melihat perspektif luas. Salah satunya adalah aspek lingkungan,” kata Guru Besar Manajemen Hutan Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.