Bisnis.com, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listianto menilai rupiah akan menguat tahun ini lebih disebabkan karena faktor eksternal, seperti Brexit yang dampaknya ke kebijakan moneter AS.
Aliran dana dari penerapan undang-undang pengampunan pajak masih belum dapat diprediksi, bahkan di sisa enam bulan tahun ini pemerintah masih perlu melakukan sosialisasi tax amnesty.
“Sekarang Brexit lebih memberikan ketidakpastian, sedangkan The Fed tidak suka ketidakpastian. Tax amnesty belum direspons dunia usaha sehingga belum kelihatan berhasil menambal defisit APBN,” katanya, Rabu (29/6/2016).
Sebelumnya, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan rupiah sempat mengalami sentimen positif setelah UU Pengampunan Pajak disahkan ke Rp13.170 per US$1.
Situasi nilai tukar yang stabil akan menguatkan dunia usaha sehingga dapat membuat perencanaan ekspansi. Selain itu, perbankan juga bisa menyalurkan kredit karena permintaannya bertambah.
Dia mengambil contoh kejadian pada 2010 yang mana Amerika Serikat memulai pelonggaran kuantitatif sehingga banyak modal mengalir ke negara emerging market, termasuk Indonesia.
Cadangan devisa Indonesia saat itu mencapai US$210 miliar atau terus meningkat sejak 2008 yang hanya sekitar US$60 miliar. Dengan demikian, dana yang masuk dari tax amnesty berpeluang menaikkan cadangan devisa.
“Jadi jika yang memanfaatkan tax amnesty ini bisa memasukkan dananya lewat repatriasi, ya, ada harapan cadangan devisa bisa meningkat pesat kembali,” katanya.
Terkait faktor eksternal seperti Brexit, dia menuturkan situasi di Inggris setelah keluar dari Uni Eropa akan membuat perekonomian negara Ratu Elizabeth itu melambat. Inggris harus memulai perjanjian ekonomi baru untuk menjalin kerjasama dengan negara lain yang selama ini hal itu masuk dalam payung Uni Eropa.
Namun, situasi yang terjadi di Inggris tidak akan berpengaruh buruk pada negara emerging markets, seperti Indonesia. Volatilitas di pasar keuangan dalam negeri lebih dipengaruhi oleh kebijakan bank sentral Amerika Serikat dan perekonomian China.
Dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa akan semakin mengecilkan potensi The Fed menaikkan suku bunga acuannya.