Bisnis.com, JAKARTA – Nilai harta bersih yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam SPT PPh terakhir menjadi dasar pengenaan uang tebusan dalam kebijakan pengampunan pajak.
Dalam pasal 5 UU tentang Pengampunan Pajak dinyatakan besaran uang tebusan dihitung dengan cara mengalikan tarif uang tebusan – sesuai dengan periode pernyataannya – dengan dasar pengenan uang tebusan tersebut.
“Nilai harta bersih merupakan selisih antara nilai harta dikurangi nilai utang,” bunyi pasal 5 ayat (3) seperti dikutip Bisnis.com, Rabu (29/6/2016).
Harta, sesuai ketentuan umum, merupakan akumulasi tambahan kemampuan ekonomis berupa seluruh kekayaan, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang dugunakan untuk usaha maupun bukan untuk usaha, yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nilai harta yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan yang diajukan WP harus mencakup nilai harta yang telah dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir dan niilai harta tambahan yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam SPT PPh terakhir.
Keduanya, dalam pasal 6, harus dinyatakan dalam nilai mata uang rupiah. Untuk harta tambahan yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan ditentukan berdasarkan nilai nominal (untuk harta berupa kas) dan nilai wajar pada akhir tahun pajak terakhir (untuk harta selain kas).
Dalam bagian penjelasan UU Pengampunan Pajak, nilai wajar dinyatakan sebagai nilai yang menggambarkan kondisi dan keadaan dari aset yang sejenis atau setara berdasarkan penilaian WP.
Nilai wajar itu dicatat sebagai harga perolehan harta yang dilaporkan paling lambat pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2017.
Apabila satuan yang dipakai bukan rupiah, nilai harta tetap harus dikonversikan dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri untuk keperluan perhitungan pajak pada akhir tahun terakhir.