Kabar24.com, JAKARTA – Peneliti hukum dari Universitas Indonesia Dio Ashar Wicaksono mengkritisi kebijakan pemangkasan anggaran di penegak hukum.
Dia menilai pemangkasan anggaran justru akan menimbulkan tiga persoalan utama. “Pertama kualitas penegakan hukum, kedua membuka praktik korupsi, dan ketiga potensi kasus terbengkalai,” jelasnya, Kamis (16/6/2016).
Dio mengambil contoh penanganan buruknya penyusunan anggaran di Kejaksaan Agung. Penyebabnya adalah anggaran penanganan perkara dikurangi hanya untuk menangani sekitar 80.000 perkara tahun ini.
Padahal di tahun sebelumnya, anggaran Kejaksaan dialokasikan lebih dari 120.000 perkara.
Dengan demikian, perubahan kebijakan penyusunan anggaran sangat diperlukan, apalagi anggaran penanganan perkara sudah tidak ideal lagi dengan kondisi praktiknya.
Dari sisi satuan besaran anggaran untuk tiap perkara juga sangatlah minim. Anggaran Kejaksaan saat ini dialokasikan hanya sebesar 3 juta rupiah, dan 6 juta rupiah untuk Kejari yang tidak satu wilayah dengan Pengadilan Negeri (PN).
Adapun penghematan itu adalah tindak lanjut dari Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Langkah-langkah Penghematan dan Pemotongan Belanja Kementerian/ Lembaga (K/L) Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016 tersebut.
Selain Kejaksaan Agung, penegak hukum lainnya juga bernasib sama. Komisi Yudisial, Kepolisian RepubIik Indonesia (Polri), Mahkamah Agung, hingga KPK pun menjadi sasaran efisiensi anggaran tersebut.