Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah kini berhak memajaki grup perusahaan multinasional yang mengambil untung di Indonesia meski tidak memiliki kantor fisik di Indonesia. Langkah ini merupakan ekses penerapan kebijakan pajak minimum global.
Pajak minimum global sendiri resmi berlaku di Indonesia lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 136/2024. Aturan tersebut menyebutkan perusahaan multinasional dengan omzet paling sedikit 750 juta euro akan dikenakan pajak badan minimal 15%.
Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Prianto Budi Saptono, melihat aturan pajak minimum global dikeluarkan agar sejalan dengan perkembangan ekonomi yang semakin terdigitalisasi sehingga muncul tantangan mengenai alokasi hak pemajakan.
Lewat perkembangan ekonomi digital, suatu perusahaan yang berlokasi di negara A bisa mengambil keuntungan di negara B. Hanya saja, pemerintah negara B sulit memajaki perusahaan tersebut karena berada di luar yuridiksinya.
Oleh sebab itu, jelas Prianto, pajak minimum global menyesuaikan alokasi hak pemajakan dengan perkembangan kebijakan internasional yang berbasis konsensus. Menurutnya, kebijakan tersebut disusun berdasarkan model bisnis baru tanpa mendasarkan pada kehadiran fisik yang ada di Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
"Dengan demikian, hak pemajakan Indonesia sebagai negara sumber penghasilan bagi Grup PMN [perusahaan multinasional] tidak terbatas pada kehadiran fisik anggota Grup PMN," ungkap Prianto kepada Bisnis, dikutip Minggu (19/1/2025).
Baca Juga
Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal di Universitas Indonesia itu menerangkan bahwa PMK 136/2024 dirancang dengan pendekatan yang berfokus pada upaya untuk mengatasi BEPS (base erosion & profit shifting). Praktik BEPS, sambung Prianto, merupakan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba.
Praktik tersebut berkaitan dengan pengalihan keuntungan ke anggota grup perusahaan di negara surga pajak alias tax haven countries. Di tax haven countries, perusahaan multinasional sering kali tidak dikenai PPh Badan atau tarifnya sangat rendah.
"Dengan demikian, pajak minimum global di PMK 136/2024 dapat memastikan bahwa Grup PMN yang beroperasi secara internasional, termasuk di Indonesia, setidaknya membayar pajak dengan tarif pajak minimum global yang disepakati dalam perjanjian multilateral," ujar direktur eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute itu.
Lantas, apa saja prasyarat sebelum pemerintah bisa memajaki perusahaan multinasional yang mengambil keuntungan meski tidak memiliki kantor fisik di Indonesia?
Pasal 4 ayat (1) PMK 136/2024 menjelaskan pajak minimum global 15% akan dikenakan untuk korporasi atau bentuk usaha tetap yang merupakan entitas dari grup perusahaan multinasional.
Jika tarif pajak efektif yang disetor perusahaan multinasional kurang dari 15%, maka akan dikenakan pajak tambahan (hingga minimal 15%). Contoh detailnya dijelaskan dalam bagian lembar lampiran PMK 136/2024.
Misalkan, sebuah grup perusahaan multinasional memiliki dua perusahaan di dua negara berbeda: Perusahaan A di negara A, Perusahaan B di Indonesia.
Indonesia sudah menerapkan ketentuan pajak minimum global 15%. Sementara itu, negara A belum menerapkan ketentuan pajak minimum global sehingga bertarif pajak rendah (tax haven country).
Diasumsikan, negara A hanya menerapkan tarif PPh Badan sebesar 5%. Meski Perusahaan A hanya membayar PPh Badan 5% ke negara A, namun korporasi tersebut harus membayar pajak tambahan 10% (agar sesuai ketentuan pajak minimum global 15%) ke Indonesia.
Kewajiban tersebut berlaku karena Perusahaan A tetap mengambil keuntungan dari Indonesia karena korporasi tersebut memiliki saham atau sejenisnya di Perusahaan B (yang berada di Indonesia). Bagaimanapun, Perusahaan A dan Perusahaan B berada di satu grup perusahaan multinasional