Bisnis.com, JAKARTA— PT Bahana TCW Investment Management meminta pemerintah untuk melakukan pembenahan administrasi pajak agar berinvestasi di dalam negeri menjadi menarik.
Direktur Utama PT Bahana TCW Investmnet Management Edward Lubis mengatakan harapan tersebut seiring dengan adanya wacana pengampunan pajak (tax amnesty) yang akan ditetapkan dalam undang-undang. Menurutnya, pemerintah harus dapat meyakinkan para wajib pajak agar program tax amnesty berjalan sukses.
Dia menilai, jika wajib pajak suka rela melaporkan penghasilan serta membayar pajak melalui kesempatan ini, akan lebih menguntungkan dibandingkan berhadapan dengan penegakan hukum yang akan diberlakukan di masa datang.
Keyakinan para wajib pajak dapat tumbuh bila pemerintah juga mengerjakan pekerjaan rumahnya seperti menyediakan insentif pajak menarik, kejelasan prosedur dan administrasi pajak, terutama pajak investasi.
Adapun, pemerintah sudah mempersiapkan beberapa instrumen untuk menampung dana yang kembali terkait dengan tax amnesty seperti saham, reksa dana penyertaan terbatas (RDPT), obligasi BUMN, modal ventura dan deposito.
“Selain mempersiapkan instrumen penampung dana yang akan masuk, kita perlu membenahi administrasi perpajakan kita, khususnya dalam bidang investasi. Hal ini terkadang luput dari perhatian,” ujar Edward dalam keterangan resmi, Senin (23/5/2016).
Jika ditelusuri, ada beberapa alasan mengapa para pengusaha menempatkan dananya di luar negeri. Dengan disimpan di luar negeri, dana itu dengan mudah ditarik dan digunakan lagi untuk perputaran bisnis, tidak memerlukan banyak biaya, tidak terkena selisih kurs dan selain itu, aturan pengenaan pajak pun jelas.
Sementara, aturan pajak investasi di dalam negeri masih berpotensi memberikan disinsentif bagi para investor. Misalnya saja dalam hal pembelian surat utang negara berdenominasi dolar AS. Investor yang membeli surat utang negara akan mendapatkan insentif berupa pajak yang ditanggung pemerintah.
Namun insentif ini hilang ketika investor membeli obligasi dollar AS yang diterbitkan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Bahkan, pembeli obligasi BUMN dapat dikenakan pajak berlapis. Peraturan perpajakan yang seperti ini berpotensi membuat para investor enggan membeli obligasi korporasi. Padahal, obligasi BUMN menjadi salah satu alternatif penampungan dana repatriasi. Agar lebih menarik, tentu aturan pajak yang terkait dengan obligasi BUMN harus dibenahi terlebih dahulu.
Contoh lain adalah transaksi pembelian instrumen investasi yang dilakukan di luar negeri. Misalnya saja ketika investor Indonesia membeli obligasi yang dicatatkan di bursa Singapura. Di Singapura, investor sudah dikenakan pajak sesuai dengan aturan yang berlaku di sana.
Ketika obligasi itu dimasukkan ke dalam portofolio aset di dalam negeri dan memberikan penghasilan investasi, obligasi yang sama pun dikenakan pajak di dalam negeri. Seharusnya, dengan perjanjian pajak atau tax treaty pajak yang sudah dikenakan di Singapura dapat menjadi kredit pajak di dalam negeri sehingga pajak yang dikenakan tidak berganda. Kenyataannya, tidak mudah mendapatkan fasilitas tax treaty tersebut.
“Pembenahan administrasi pajak ini harus dilakukan agar berinvestasi di dalam negeri menjadi sama atau lebih menarik dibanding dengan berinvestasi di luar negeri,” tambah Edward.