Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Aperssi: Penyelesaian Sertifikat Rusun Harus Sebelum Jual Beli

Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia atau Aperssi mendesak pengembang agar bersikap profesional dalam penyelenggaraan pembangunan rumah susun dengan terlebih dahulu mengurus persyaratan sertifikat terkait sebelum melakukan proses jual beli.
Apartemen/JIBI
Apartemen/JIBI

Bisnis.com, JAKARTA— Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia atau Aperssi mendesak pengembang agar bersikap profesional dalam penyelenggaraan pembangunan rumah susun dengan terlebih dahulu mengurus persyaratan sertifikat terkait sebelum melakukan proses jual beli.

Ketua Umum Aperssi Ibnu Tadji mengatakan, selama ini proses jual beli kerap dilakukan sebelum sertifikat laik fungsi (SLF) dan sertifikat hak milik (SHM) atau sertifikat kepemilikan bangunan gedung (SKBG) diterbitkan.

Alhasil, para pemilik unit rumah susun atau apartemen yang telah melunasi pembelian belum memiliki sertifikat bahkan hingga bertahun-tahun. Padahal, seturut Pasal 44 UU 20/2011 tetang Rumah Susun, proses jual beli hanya dapat dilakukan setelah sertifikat tesebut diterbitkan.

Tidak adanya sertifikat ini kerap menjadi alasan bagi para pengembang untuk bertahan mengelola rumah susun dan enggan memfasilitasi warga untuk membentuk persatuan pemilik dan penghuni satuan rumah susun atau P3SRS. Warga dianggap tidak memiliki hak suara untuk membentuk P3SRS selama belum memiliki sertifikat.  

“Pengembang memang mau secepatnya unitnya itu diserahkan kepada pembelinya, tetapi dia harus penuhi dua aspek itu [SLF dan SHM/SKBG]. Kalau dia kesulitan penuhi itu, harusnya dia bersikap profesional. Urus dulu hingga dapat sertifikatnya,” katanya dalam temu media Aperssi, Rabu (18/5/2016).

Ibnu mengapresiasi keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap putusan perkara No. 21/PPU-XIII/2015 yang mengabulkan sebagian permohonan para pemohon untuk melakukan uji materi terhadap UU 20/2011 tentang Rumah Susun.

Inti putusan tersebut menyatakan bahwa pelaku pembangunan wajib memfasilitasi terbentuknya P3SRS pada satu tahun masa transisi sejak serah terima unit pertama kali tanpa harus dikaitkan dengan selesainya penjualan unit-unit satuan rumah susun yang bersangkutan.

“Pelaku pembangunan sekarang harus berhati-hati karena ini bisa masuk ke ranah hukum gugatan perdata bila tidak ikut ketentuan MK ini,” katanya.

Hal tersebut disampaikan Ibnu menanggapi pernyataan Ketua Pusat Studi Hukum Properti Indonesia (PSHPI) Erwin Kallo yang mengatakan keputusan MK tidak substansial menjawab permasalahan pembentukan P3SRS.

Pasalnya, menurut Erwin, warga selama ini meminta untuk membentuk P3SRS padahal belum mengantongi sertifikat hak milik atas satuan rumah susun atau SHMSRS miliknya.

Sementara itu, pengurusan sertifikat ini mensyaratkan adanya pertelaan atau pengesahan Akta Pemisahan dan Uraian Teknis terhadap rumah susun dair Gubernur yang sering kali lambat pengurusannya akibat proses birokrasi berbelit.

“Kalau belum ada pertelaan, itu belum rumah susun, masih calon rumah susun karena belum memenuhi defisi rusun di pasal 1 ayat 1 [UU 20/2011]. Lalu, dari mana hak suara mereka kalau belum terbit sertifikatnya?,” katanya.

Hal senada juga diungkapkan Acting Property Manager PT Mitra Investama Perdana Suyatno Surorejo selaku pengelola apartemen Green Pramuka City (GPC), Cempaka Putih, Jakarta Pusat.

Suyatno membantah P3SRS bentukan warga GPC sebagai P3SRS yang sah sebab hingga saat ini warga belum mengantongi SHMSRS, meski serah terima unit telah dilakukan sejak 2012 lalu. Menurutnya, P3SRS yang sah baru dapat dibentuk setelah SHMSRS dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.

“SHMSRS ini sendiri dapat diterbitkan setelah adanya pertelaan. Pertelaan dapat disahkan setelah pembangunan seluruh satuan rumah susun dalam kawasan GPC telah selesai dibangun sesuai dengan perizinan,” katanya.

Apartemen GPD sendiri rencananya akan dikembakan sebanyak 17 menara. Saat ini, baru empat menara yang dihuni dan empat lainnya segera rampung.

Ibnu mengatakan, dengan putusan MK, menjadi jelas bahwa pembentukan P3SRS tidak harus menunggu seluruh unit yang direncanakan pengembang selesai terbangun. Bila pengembang telah memutuskan melakukan serah terima unit, saat itu lah masa transisi mulai dihitung.

Pengembang pun dianggap memahami ketentuan Pasal 44 UU 11/2011 bahwa serah terima tersebut hanya bisa dilakukan setelah penerbitan SLF dan SHM/SKBG dan beritikad baik untuk mematuhinya.

“Dengan kata lain, tidak ada kaitannya antara penyelesaian tower selanjutnya dengan penyelesaian P3SRS di sana,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper