Bisnis.com, JAKARTA - Kelesuan pasar dan kalah akses pasar dengan pesaing utama membuat industri tekstil terus tertekan sejak akhir 2014.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan industri tekstil dan pakaian jadi merosot 1,56% pada kuartal I/2016. Pertumbuhan negatif di sektor industri pengolahan terbesar kedua Indonesia tersebut telah berlangsung sejak kuartal IV/2014.
Produk domestik bruto industri tekstil dan pakaian jadi menyusut 4,79% sepanjang 2015 setelah sempat terkontraksi lebih dari 6% pada kuartal II/2015 dan kuartal III/2015.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajad menjelaskan industri tekstil dan pakaian jadi belum bisa bangkit selama permintaan ekspor masih lesu.
“Ini masalah global yang terus menekan industri dengan intens. Ekspor semakin jauh dari target kita," ungkapnya ketika dihubungi Bisnis.com pada Minggu (8/5/2016).
Tekanan paling tinggi, jelasnya, terasa pada industri tekstil hulu seperti serat dan pemintalan. Adapun industri garmen, menurut dia, masih bisa merasakan dorongan pertumbuhan dari pergerakan nilai tukar.
Dia menambahkan produsen tekstil dan garmen Indonesia merasakan tekanan lebih kuat dibandingkan dengan negara pesaing utama seperti Vietnam dan Bangladesh karena tidak memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan negara maju.
“Indonesia tidak punya perjanjian perdagangan bebas baik dengan Eropa atau Amerika Serikat. Ini membuat negara maju memilih produk buatan negara lain yang memiliki free trade dengan mereka,” kata Ade.