Bisnis.com, JAKARTA – Manajemen Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP) akan terus menjalin komunikasi dengan berbagai pihak guna meredam polemik terkait eksistensi lembaga yang menaungi enam perusahaan kelapa sawit raksasa itu.
Direktur Eksekutif IPOP Nurdiana Darus mengatakan dirinya berencana bertemu dengan kalangan pemerintah, di antaranya Kementerian Pertanian. Menurut dia, polemik yang selama ini muncul ke permukaan lebih disebabkan komunikasi yang belum optimal.
“Sebenarnya tujuan Kementan dengan IPOP kan sama. Saya rasa perlu ada perbaikan dari dua belah pihak dan itu lewat komunikasi,” katanya dalam acara temu media di Jakarta, Rabu (27/4/2016).
Nurdiana mengingatkan kembali bahwa ikrar IPOP adalah untuk menjalankan praktik-praktik berkelanjutan dalam usaha kelapa sawit. Komitmen itu merujuk pada standar Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) maupun Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang diakui pemerintah.
IPOP dideklarasikan pada September 2014 oleh korporasi sawit raksasa yakni Wilmar, Golden Agri Resources, Cargill, dan Asian Agri. Pada Maret 2015 Musim Mas turut bergabung, menyusul kemudian Astra Agro Lestari.
Sebagaimana diketahui, Kementan menghendaki agar IPOP membubarkan diri karena tidak sesuai aturan main Indonesia. Para petani kelapa sawit memprotes anggota IPOP yang menolak tandan buah segar (TBS) mereka yang disinyalir berasal dari perkebunan hasil deforestasi.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) San Afri Awang menilai penolakan IPOP atas TBS petani sebagai praktik diskriminatif. Menurutnya, wajar bila anggota IPOP menolak deforestasi karena sudah memiliki jutaan hektare (ha) lahan sawit.
“Saya pribadi menolak IPOP karena itu sama saja membuat rakyat kecil tidak boleh tanam sawit. Padahal masih banyak yang ingin,” katanya.