Bisnis.com, JAKARTA - Investment credit atau investasi yang bisa dikembalikan dan menjadi beban pemerintah dari proyek Indonesia Deepwater Development (IDD) dinilai terlalu besar karena lebih dari 100%.
Direktur Hulu Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Djoko Siswanto mengatakan pihaknya telah menerima proposal rencana pengembangan (plan of development/PoD) dari Chevron.
Namun, nilai investment credit yang terlalu besar menjadi alasan agar Chevron mengkaji ulang. Dalam proposal, katanya, investment credit yang diajukan lebih dari 100%.
Angka ini, katanya, yang menyebabkan dana investasi mengembangkan laut dalam menjadi US$9 miliar. Bertolak dari usulan yang dilakukan Indonesian Petroleum Association (IPA), investment credit diusulkan sebesar 50%.
Adapun, investment credit merupakan bentuk insentif dalam sistem kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC). Kontraktor yang mendapatkan fasilitas investment credit berarti berhak meminta ganti kepada pemerintah sebesar persentase tertentu atas nilai investasi yang berhubungan langsung dengan pembangunan fasilitas produksi. Pengembalian ini akan menjamin biaya lain yang tak bisa terganti melalui sistem cost recovery.
"Biasanya investment credit-nya tidak sampai 100%, 50% paling. Usulan IPA yang sekarang aja minta 50%. Masa IDD minta di atas 100%?" ujarnya di sela jumpa pers di Gedung Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Jakarta, Selasa (26/4/2016).
Permintaan perbaikan proposal PoD IDD, ujar Djoko, merupakan yang kedua kalinya. Pertama, proposal dikembalikan karena data yang terangkum dalam proposal kurang lengkap.
Kedua, pengembalian lebih kepada nilai investasi yang membengkak karena permohonan investment credit. Sebelumnya, dia menyebut, Chevron mengajukan biaya investasi sebesar US$12 miliar.
Kemudian, dalam proposal yang terakhir tercantum angka US$9 miliar yang dianggap masih terlalu besar. Kemungkinan, angka investasi akan menyusut bila persentase investment bisa ditekan. "Kalau itu [investment credit-nya] bisa di bawah 100%, kemungkinan enggak sampai US$9 miliar," katanya.
Sementara itu, terkait bagi hasilnya, menurutnya, tak jadi soal. Pihaknya masih mengkaji adanya kemungkinan bagi hasil yang lebih menarik dan penghapusan pajak yang membuat keekonomian proyek berkurang.
Alasannya, tutur Djoko, rencana pengembangan hulu minyak dan gas bumi mengarah ke wilayah Indonesia Tengah dan Timur yang menghadapi tantangan laut yang dalam.
Permintaan investment credit dengan angka yang besar, dianggapnya wajar karena pengembangan proyek di medan yang berat akan membutuhkan biaya yang lebih besar. "Ya mungkin karena biaya mahal kali, kan investasinya gede kalau di laut dalam," katanya.
Berdasarkan catatan Bisnis, Chevron Indonesia Company tengah merevisi rencana pengembangan lapangan (plan of development/PoD) karena adanya kenaikan nilai investasi dari US$6,9 miliar pada 2007 menjadi US$12 miliar pada 2014.
Belum tuntasnya revisi PoD berdampak pada penundaan keputusan final investasi (final investment decision/FID). Proyek IDD ditargetkan berproduksi 1.270 juta kaki kubik per hari atau million metric standard cubic feet per day (MMscfd).
Produksi tersebut berasal dari empat blok yaitu Ganal, Rapak, Makassar Strait, dan Muara Bakau dengan lima lapangan yakni Bangka, Gehem, Gendalo, Maha dan Gandang.
Berdasarkan surat alokasi Menteri ESDM, sebanyak 25% produksi IDD akan dialokasikan untuk konsumsi domestik. Pasokan untuk konsumen domestik akan diperuntukan ke floating storage and regasification unit (FSRU) Jawa Barat 53 kargo (2018-2021).
Selain itu, FSRU Lampung 37 kargo (2016-2018), FSRU Banten 30 kargo (2016-2021), FSRU Jawa Tengah 39 kargo (2016-2021), dan Terminal Arun 20 kargo (2017-2021). Selain kontrak bagi hasil Makassar Strait, dan Rapak, megaproyek IDD juga mencakup blok Muara Bakau. Berdasarkan plan of development (PoD) Chevron yang disetujui pemerintah pada 2008.
Chevron semestinya sudah mulai melakukan pengaliran gas (on-stream) dari Blok Makassar Strait pada 2018 yang memiliki cadangan awal 3 trillion cubic feet (TCF).