Bisnis.com, JAKARTA--Kalangaan pelaku usaha industri kakao Tanah Air meminta Kementerian Pertanian mengevaluasi daftar impor pangan segar asal tumbuhan (PSAT) yang dikenai kewajiban sertifikasi laboratorium negara pengekspor oleh Badan Karantina Pertanian Kementan.
Aturan wajib sertifikasi laboratorium negara pengekspor tersebut tertuang dalam Permentan 4/2015 tentang Pengawasan Keamanan Pangan terhadap Pemasukan dan Pengeluaran PSAT yang tenggat waktu implementasinya jatuh pada 17 Februari lalu.
Sindra Wijaya, Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) menyampaikan produk-produk yaang merupakan bahan baku seperti kakao bukan untuk dikonsumsi langsung oleh masyarakat, namun akan diolah lagi oleh industri menjadi makanan olahan.
Tujuan aturannya baik, untuk melindungi masyarakat. Menurut kami, itu hanya relevan untuk impor sayur-sayuran dan buah-buahan karena langsung dikonsumsi, kalau komoditas seperti kakao dan kopi tidak perlu karena akan diolah oleh industri dengan standar tinggi, kata Sindra saat dihubungi Bisnis, Minggu (17/4/2016).
Menurut Sindra, aturan ini memang berpotensi menyulitkan karena industri kakao masih mengimpor dari negara-negara Afrika yang belum memiliki laboratorium mapan dan bahkan tidak memiliki kedutaan di Indonesia sehingga tidak memperoleh informasi memadai soal aturan impor PSAT.
Saat ini, kapasitas terpasang industri kakao nasional yaitu 800.000 ton, sedangkan produksi dalam negeri hanya mampu memasok sebanyak 400.000 ton biji kakao. Tahun lalu, impor biji kakao yaitu 53.000 ton.
Berdasarkan Permentan 4/2015, negara-negara yang akan mengekspor produk pangan segar asal tumbuhannya ke Indonesia harus memiliki laboratorium pemeriksaan yang telah disertifikasi oleh Badan Karantina Pertanian Kementan.
Pasal 10 ayat (1) beleid tersebut menyebutkan sertifikat hasil uji diterbitkan oleh laboratorium penguji negara asal yang telah diregistrasi dan diaudit oleh Badan Karantina Pertanian untuk memastikan keamanan dan kesehatan pangan tersebut.
Setelah sertifikat tersebut diterbitkan, Badan Karantina Pertanian tidak perlu lagi mengecek kondisi fisik barang yang dikirimkan sehingga diharapkan menekan dwelling time.
Meski telah disosialisasikan sejak Februari 2015, hingga saat ini baru 21 negara yang telah mendaftarkan laboratoriumnya. Akibatnya, kalangan idnustri yang mengimpor bahan bakunya dari negara yang laboratoriumnya belum tersertifikasi, merasa bakal kesulitan mendapatkan bahan baku.
Beberapa negara yang belum memiliki laboratorium memadai yang mengekspor produk kakaonya ke Indonesia misalnya Pantai Gading, Nigeria, Ghana, dan Kamerun.