Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PROSPEK EKONOMI: Menakar Sentimen dari China

Ramalan tiga lembaga pemeringkat berskala global terlanjur mereduksi optimisme China dalam menghadapi turbulensi ekonomi, meski dinilai tak akan sampai mengalami pendaratan keras dan benturan krisis berkepanjangan. Lalu, apa dampaknya bagi ekonomi Indonesia?
Pada 2014, terjadi arus modal keluar yang terkait dengan penurunan ekonomi China. /Bisnis.com
Pada 2014, terjadi arus modal keluar yang terkait dengan penurunan ekonomi China. /Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA - Ramalan tiga lembaga pemeringkat berskala global terlanjur mereduksi optimisme China dalam menghadapi turbulensi ekonomi, meski dinilai tak akan sampai mengalami pendaratan keras dan benturan krisis berkepanjangan. Lalu, apa dampaknya bagi ekonomi Indonesia?

Tiga hasil riset dari lembaga rating internasional itu terbit hampir bersamaan menjelang pengumuman pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai Bambu pekan ini.

Hasil riset teranyar Fitch Ratings pada April 2016 menyebutkan, China memiliki sumber daya keuangan yang mumpuni untuk menghindari hard landing kinerja pertumbuhan, meskipun struktur perekonomiannya cenderung sangat rentan.

Lembaga pemeringkat yang berbasis di London dan New York itu memperkirakan ekonomi China hanya akan tumbuh 6% pada 2016 dan 6,5% pada tahun berikutnya.

“Tingkat utang yang tinggi merupakan sumber puncak kerentanan sistemik, namun karakteristik sistem keuangan China dan perluasan ekonomi akan melawan gangguan secara makro,” ujar Analis Fitch Ratings Andrew Colquhoun dalam hasil risetnya.

Terbukti, pinjaman baru Negeri Panda senilai CNY4,2 triliun pada Januari dan Februari 2016 atau naik 23% dari level utang periode yang sama pada 2015 telah memukul ekonomi China.

Berdasarkan hasil Kongres Masyarakat Nasional pada Maret 2016, target pembiayaan secara agregat disepakati naik 13%, sementara produk domestik bruto (PDB) hanya tumbuh pada kecepatan satu digit.

Dalam kurun 5 tahun, Fitch memperkirakan utang China akan semakin membebani pertumbuhan China yang ditargetkan pada kisaran 6,5%—7% dalam kurun 2016—2020. Risiko utang serta gejolak stabilitas ekonomi dan keuangan tak terbantahkan menjadi penyebab realisasi pertumbuhan semakin menantang.

Kendati demikian, sistem keuangan China didominasi oleh bank dan deposito ritel sebagai pemasok dana utama. Kedua pihak dapat dikendalikan oleh pemerintah dengan mudah.

Gabungan faktor tersebut menunjukkan kemustahilan bahwa kepercayaan kalangan kreditur akan runtuh dan memicu krisis keuangan. Tak hanya itu, kebijakan fiskal pemerintah yang tepat dinilai akan menjadi stimulus pada 2016.

Sebelumnya, Standard & Poor (S&P) dan Moody Investors Service kompak memangkas prospek peringkat kredit China dari semula stabil menjadi negatif, menyusul perlambatan ekonomi yang berlarut-larut di negara penyangga ekonomi Asia tersebut.

S&P menorehkan rating kredit AA- dengan prospek negatif dan memprediksikan perbaikan ekonomi China berpotensi terjadi lebih lama dari yang diperkirakan.

"Kami merevisi proyeksi kredit China dengan harapan  pemerintah mengetahui risiko ekonomi dan kredit keuangan terus meningkat," tulis S&P dalam laporannya pada (31/3/2016).

S&P juga memperkirakan, selama 5 tahun ke depan China diyakini hanya akan mencatatkan kemajuan yang sederhana saat melakukan pemulihan ekonomi dan melawan perlambatan pertumbuhan kredit.

Pertumbuhan ekonomi China akan tetap melaju di atas 6% selama tiga tahun ke depan dengan kenaikan investasi mencapai 30%—35% terhadap PDB.

Dalam kesempatan berbeda, Moody’s memandang memburuknya cadangan devisa, aktivitas ekspor, dan investasi China telah membebani pertumbuhan ekonomi nasional. Pemerintah China dinilai masih gagal dalam melaksanakan reformasi ekonomi yang dibutuhkan.

Saat ini, peringkat utang China dari Moody adalah Aa3 atau tujuh tingkat di atas tidak layak investasi. Namun demikian, Moody’s menyarankan, meskipun rating China turun, investor tidak perlu terburu-buru untuk menjual obligasi China.

PROSPEK EKONOMI: Menakar Sentimen dari China

DEVALUASI YUAN

Sementara itu, dalam beberapa waktu terakhir, nilai tukar yuan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tak menggembirakan dan perlu mendapat dukungan dari kegiatan ekspor.

Kendati demikian, China memiliki sarana untuk tidak mendevaluasi yuan secara substansial sehingga Fitch memperkirakan devaluasi tak akan terjadi. Yuan diperkirakan melemah sekitar 5% terhadap dolar AS selama 2016.

Fitch sepakat dengan penilaian pemerintah China bahwa fundamental makroekonomi tidak selalu mempengaruhi depresiasi yuan. China mengalami surplus transaksi berjalan yang besar dan diperkirakan melebihi US$300 miliar pada 2016. 

Akan ada risiko dan biaya dengan adanya devaluasi yang besar. Devaluasi akan menjadi kejutan negatif terhadap ekonomi global. Hal ini bisa mendorong ekonomi China rebound dan menghasilkan kejutan sistemik di kalangan pasar negara berkembang, khususnya Asia Pasifik dan memprovokasi reaksi mitra perdagangan global. Bahkan, hal itu bisa mengisyaratkan tersingkapnya rezim perdagangan terbuka global saat ini.

Devaluasi besar juga akan merusak kemajuan yang telah diupayakan China sebelumnya, yakni menekan pendapatan rumah tangga dan memperkuat profitabilitas ekspor korporasi.

Pada 2014, terjadi arus modal keluar yang terkait dengan penurunan ekonomi China. Hal itu menyebabkan pemerintah melonggarkan kebijakan moneter dan meringankan beban utang pada sektor korporasi dan pemerintah lokal.

Pemerintah membuka kembali pasar obligasi domestik untuk pengembang properti China pada Juni 2015 setelah jeda 6 tahun. Hal itu memberi kesempatan mereka mengakses dana murah dan memberi insentif untuk membiayai kembali utang luar negeri yang jatuh tempo.

Fenomena tersebut merupakan trilema ekonomi terbuka yang klasik. Pada dasarnya, tak ada ekonomi yang secara bersamaan mampu mengontrol suku bunga domestik dan menjaga nilai tukar, sementara memungkinkan pula adanya arus modal bebas.

Pilihan terbesar akhirnya bermuara pada garis perlawanan negeri anti-demokrasi itu untuk melakukan pengetatan terhadap pelaksanaan kontrol modal yang ada.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Lavinda
Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia, Jumat (15/4/2016)

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper