Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

TANTANGAN SUKU BUNGA NEGATIF: Menunggu Respons Pemerintah

Indonesia pernah jatuh ke lubang kepanikan ketika pada 2013, setelah 2--3 tahun menikmati manisnya booming harga komoditas, rupiah dan indeks saham jatuh ke titik yang tidak pernah dibayangkanpelajaran berharga bagi pemerintah.
Dalam jangka menengah apalagi panjang, secara individual orang per orang, bank per bank atau lembaga keuangan non bank lainnya, akan terkena efek dari langkah tidak konvensional ini./Bisnis.com
Dalam jangka menengah apalagi panjang, secara individual orang per orang, bank per bank atau lembaga keuangan non bank lainnya, akan terkena efek dari langkah tidak konvensional ini./Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA - Suatu kali, filsuf kelahiran Jerman Georg Wilhelm Friedrich Hegel pernah berkata, “What experience and history teach is that governments never have learned anything from history or acted on the principles deduced from it.”

Pemerintah tidak boleh jatuh ke lubang yang sama. Sebab, seperti yang diutarakan oleh pepatah lama, hanya keledai yang melakukannya.

Indonesia pernah jatuh ke lubang kepanikan ketika pada 2013, setelah 2--3 tahun menikmati manisnya booming harga komoditas, rupiah dan indeks saham jatuh ke titik yang tidak pernah dibayangkan—pelajaran berharga bagi pemerintah.

Saat ini, arus modal masuk yang begitu deras sejak awal tahun sebagian (kecil) mungkin disebabkan oleh keberlanjutan reformasi struktural yang telah dirintis oleh Presiden Joko Widodo dan Kabinet Kerja. Namun, yang tidak bisa diperdebatkan adalah, faktor kebijakan bunga negatif yang mulai meluas setelah Bank of Jepang turut menerapkan sekaligus masuk ke gerbong bank-bank sentral di Eropa adalah yang menjadi pemicu.

Lebih-lebih, Federal Reserve yang pada Desember 2015 telah mulai menaikkan tingkat bunga acuan atau menormalisasi, justru meminta perbankannya bersiap melakukan stress test apabila kebijakan tingkat bunga negatif tidak dapat lagi dielakkan.

Dari domestik, serangkaian paket kebijakan ekonomi--yang belakangan diklaim oleh Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution sudah terimplementasi 95% hingga 96%—diiringi oleh inflasi yang cenderung stabil rendah mungkin membantu memperlancar masuknya arus modal.

Namun, peristiwa yang terjadi pada waktu itu memberi pelajaran yang penuh rasa sakit. Mantan Menkeu Chatib Basri mengakui hal itu. Ketika rupiah dan indeks harga saham gabungan terbang, semua pihak bersorak hingga lupa, ekonomi Indonesia cepat sekali panas dan defisit transaksi berjalan yang melambung.

Satu hal yang paling sering dilupakan adalah, manufaktur yang selalu dianggap sebagai pilar kunci dalam pertumbuhan yang berkelanjutan rontok, kalah oleh nafsu ‘aji mumpung’ harga komoditas tinggi. Akibatnya, hingga kini Indonesia masih sakit.

Secara luas dan persisten, daya beli yang tercermin dalam konsumsi rumah tangga tidak menunjukkan tanda-tanda akan melaju kencang seperti era sebelum tapertantrum.

Dua indikator umum kesejahteraan bahkan memperjelas situasi ini, pengangguran mencetak angka tertinggi dalam rilis terakhir dan angka ketimpangan juga menanjak. Pemerintah, lagi-lagi, belum memiliki solusi inovatif dan komprehensif untuk mengatasi masalah ini.

Di bentang lain, pemasukan dari pajak yang berkontribusi lebih dari 70% dari penerimaan negara masih ngos-ngosan. Data per Februari 2016 menunjukkan betapa mengenaskan kinerja otoritas fiskal, hanya 9,13% dari target Rp1.360,2 triliun!

TAMENG EKONOMI

Sementara itu, penerimaan pabean dan cukai belum bisa diharapkan dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga diproyeksi ikut terkontraksi seiring dengan harga minyak mentah dunia yang masih lemah, padahal pada titik ini, anggaran negara tidak lagi hanya berfungsi sebagai penggerak perekonomian.

Lebih dari itu, dalam situasi ekonomi global yang masih melambat dibarengi dengan iklim yang barangkali lebih tidak pasti dibandingkan dengan periode sebelum normalisasi moneter Amerika Serikat, APBN juga berfungsi sebagai tameng perekonomian nasional.

Syaratnya, belanja infra-struktur yang dicanangkan harus benar-benar matang dan diukur berdasarkan besaran penerimaan yang didapat. Bukan sebaliknya, hasrat untuk mempercepat pelaksanaan program justru memaksa Kementerian Keuangan untuk meningkatkan target penerimaan hingga ke level tidak realistis, bahkan tidak masuk akal.

Meski demikian, ada secercah titik terang di horizon ini. Chatib, yang barangkali sedikit merasa bersalah karena tidak cukup mampu membaca situasi mini-krisis (mengikuti istilah yang dia bikin) tersebut, menawarkan proposal penerapan tobin tax.

Secara ringkas, tobin tax adalah pajak yang dikenakan terhadap segala macam trans-aksi pertukaran mata uang, yang berarti menjadi instrumen untuk menghindari spekulan mata uang bermain secara masif dan menahan agar fluktuasi kurs—baik apresiasi maupun depresiasi—secara signifikan.

Di luar usulan mantan menteri keuangan itu, ada pula peluang bagi pemerintah yang mulai dihembuskan oleh para pihak yang masih sadar risiko dari arus modal masuk yang terlalu kencang, yakni peningkatan besaran pajak atas transaksi saham yang saat ini dipatok final 0,1%.

Usulan-usulan itu pastinya akan menuai resistensi. Barangkali pemerintah bisa menerapkannya sembari menunggu cara ampuh untuk meneruskan modal masuk yang mayoritas ‘uang panas’ menjadi investasi langsung berorientasi ekspor. Ada dua keuntungan dari usulan itu.

Pertama, memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara yang masih diombang-ambingkan oleh beleid peng-ampunan pajak. Kedua , sebagai bala bantuan terhadap otoritas moneter dalam melakukan stabilisasi pasar finansial ketika, misalnya, pasar tiba-tiba gugup menghadapi manuver baru dari bank-bank sentral negara maju.

Pasalnya, kian hari, pakar ekonomi di seluruh dunia yang banyak memperhatikan sifat elementer moneter dan makroekonomi ketimbang aspek teknikal berduyun-duyun mengingatkan risiko lingkungan iklim bunga negatif ini.

Mohamed El-Erian, Kepala Ekonom Allianz dan Kepala Penasihat Kepresidenan AS, menyebutkan sistem finansial global tidak didesain untuk bekerja dalam lingkungan suku bunga negatif.

Oleh karena itu, katanya, negara-negara baik maju maupun berkembang yang mengharapkan dan telah mendapatkan efek positif dari preseden harus mempersiapkan diri untuk menerima goncangan.

Dalam jangka menengah apalagi panjang, secara individual orang per orang, bank per bank atau lembaga keuangan non bank lainnya, akan terkena efek dari langkah tidak konvensional ini.

Dan, seperti yang diutarakan oleh pepatah lama, pemerintah tidak boleh jatuh ke lubang yang sama, sebab, hanya keledai yang melakukannya. Meskipun Hegel membuktikan pemerintah berkali-kali jatuh ke lubang itu. ()


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Arys Aditya
Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia, Senin (4/4/2016)

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper