Dinihari semakin tua. Rumah Pemotongan Hewan Pegirikan, Surabaya, kian sibuk oleh lalu-lalang para jagal. Ada yang menarik sapi masuk dalam ruang pemotongan. Ada yang memanggul karkas keluar, ke bangsal lepas tulang. Empat jam lagi pagi lahir. Semua bergegas sebelum mobil-mobil pikap subuh-subuh datang, lalu mengangkut daging, tulang, dan bagian-bagian nonkarkas ke pasar-pasar tradisional.
Seekor sapi perah ditarik masuk ke ruang pemotongan. Umurnya empat tahun, kata si tukang jagal. Betina, kelihatan dari payudaranya yang besar. Dua kaki belakangnya kemudian diikat jadi satu. Demikian pula dua kaki depan. Jagal menarik talinya. Robohlah sapi itu seketika. Dalam sekejap, hidupnya berakhir disembelih pisau.
Bergeser beberapa meter, sapi asal Nusa Tenggara Timur yang berkulit coklat kemerahan, berpostur ramping, dan tidak berkeluan (tali yang dicocokkan pada hidung sapi untuk mengendalikan jalannya), tergeletak. Dia sudah disembelih beberapa menit sebelumnya. Dua orang jagal mengawasi, menunggu kucuran darah di leher sapi itu mereda sebelum menggantungnya di conveyor untuk dikuliti.
Di sebelahnya, sapi bali tengah menunggu giliran dipotong.
Di kandang penampungan sementara, ratusan ternak dari berbagai tempat, betina dan jantan, bermacam umur, produktif dan afkir, sedang diistirahatkan, menunggu giliran pemotongan hari berikutnya. Ada sapi perah fries holland, madura, NTT, bali, peranakan ongole.
Pemandangan lebih mengagetkan di ruang pencucian. Ada janin sapi perah bertumpuk dengan jeroan. Pemotongan sapi sudah tak pilah-pilah lagi. Sudah sapi susuan, sedang bunting lagi, yang dipotong. Kesalahannya dobel. "Peternak butuh uang. Kami juga butuh motong," ungkap Apriyadi, salah satu tukang jagal di RPH itu.
Pemandangan itu rupanya jadi sesuatu yang lumrah di RPH Pegirikan, setidaknya dalam dua tahun terakhir. Pemotongan masif ternak tanpa pandang umur, jenis kelamin, sudah menjadi praktik biasa setiap hari.
Padahal sejak 2009, pemotongan ternak betina produktif dilarang lewat UU No 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang kemudian diubah dengan UU No 41/2014. Beleid yang semula bertujuan menyokong swasembada daging 2014 itu menetapkan sanksi pidana kurungan 1 bulan-3 tahun serta denda Rp1 juta-Rp300 juta bagi setiap orang yang menyembelih ternak ruminansia betina produktif.
Merespons aturan itu, Pemprov Jawa Timur menerbitkan Perda No 3/2012 tentang Pengendalian Ternak Sapi dan Kerbau Betina Produktif. Betina produktif dibatasi pada sapi betina yang melahirkan kurang dari lima kali atau berumur di bawah 8 tahun.
Perda itu mewajibkan setiap pemilik ternak mengantongi surat keterangan hasil pemeriksaan dari dokter hewan yang berwenang atau petugas lain yang ditunjuk oleh Dinas Peternakan Provinsi sebelum melakukan pemotongan. Jika sapi terbukti betina produktif, maka sapi itu harus dikeluarkan dari RPH. Lebih ringan dari UU, pelanggaran terhadap ketentuan itu akan dipidana kurungan maksimal 6 bulan dan/atau denda maksimal Rp50 juta.
Masalahnya, tak ada mantri hewan kampung-kampung. Tak ada dokter hewan juga di RPH. Alhasil, peternak dan blantik (makelar sapi) tak pernah mengggenggam surat hasil pemeriksaan. Jagal pun menerima apa saja selama ada yang dipotong. Siapa pula yang mampu memeriksa pelanggaran ini jika penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) di setiap kabupaten/kota tak memadai?
Lumbung Sapi
Tulisan ini tak akan hanya menyoal 'kebandelan' peternak, blantik, dan jagal. Kondisinya bisa jadi lebih buruk dari sekadar pelanggaran aturan. Praktik pemotongan betina produktif dan sapi susu jangan-jangan adalah cerminan Jawa Timur --yang selama ini dikenal sebagai lumbung sapi nasional-- tak lagi punya stok sapi siap potong yang cukup hari-hari ini.
Dugaan itu cukup beralasan. Di tengah pemotongan sapi betina produktif yang marak, sapi yang dipotong di RPH Pegirikan dan Kedurus (juga di Surabaya) terus berkurang. Jika pada 2013 jumlah sapi yang dipotong masih di atas 200 ekor per hari, maka pada 2015 jumlahnya di bawah 200 ekor per hari.
Sepanjang Januari-Februari 2016, sapi yang dipotong bahkan tak jauh dari kisaran 130 ekor. Angka ini hanya sepertiga dari jumlah sapi yang dipotong empat tahun lalu. Itu pun termasuk sapi-sapi dari luar Jatim.
Saking sedikitnya sapi yang dipotong, banyak conveyor di ruang penyembelihan menganggur. Pegirikan dulu tak begini. Apriyadi bercerita, empat tahun lalu, aktivitas pemotongan masih berlangsung hingga lewat subuh karena jumlah sapi yang dipotong masih banyak. Sekarang, jam 03.00 saja, kegiatan mulai sepi di ruang pemotongan.
Bersama RPH Kedurus, Pegirikan cukup menggambarkan imbas produksi sapi yang tidak memadai. Kedua RPH tentu representatif sebagai ukuran mengingat 30% konsumsi daging sapi Jatim ada di Surabaya. Pasokan ke Kota Pahlawan selama ini dipenuhi dari sentra-sentra sapi di sepanjang Tapal Kuda (Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso, Banyuwangi).
Sebagian dipasok pula dari Kabupaten Blitar, Tulungagung, dan Kediri. Saking langkanya sapi siap potong di lumbung-lumbung itu, sapi apapun dikirim ke daerah konsumen. Di pasar sapi tradisional di Probolinggo, penjualan sapi betina produktif juga hal yang lazim.
Nyatanya, Pemprov Jatim tak pernah sanggup menangkis hipotesis pemotongan sapi betina produktif sebagai akibat dari kekurangan stok sapi siap potong. Mereka bersandar kukuh pada data yang menyebutkan stok sapi siap potong melimpah, bahkan surplus, hingga bisa dikirim ke provinsi lain.
Data Dinas Peternakan Jatim menyebutkan populasi sapi di provinsi itu tahun ini 4,6 juta ekor, terdiri atas 1,5 juta ekor sapi jantan dan 3,1 juta ekor sapi betina. Angka itu menyumbang 25% populasi sapi nasional atau yang terbanyak di Tanah Air. Adapun dari jumlah itu, jumlah sapi jantan dewasa 452.813 ekor dan sapi betina dewasa di atas 6 tahun 375.122 ekor atau 827.935 ekor sapi yang siap potong. Namun, jika mengacu pada ketentuan betina produktif menurut Perda, maka jumlah sapi yang boleh dipotong lebih sedikit lagi.
Adapun kebutuhan Jatim hanya sekitar 400.000 ekor per tahun sehingga sisanya bisa dikirim ke luar provinsi. Pertanyaannya, sapi-sapi siap potong itu ada di mana? Jika stok sapi siap potong mencukupi, semestinya sapi betina produktif dan sapi perah tak sampai dihabisi juga. Kenyataan di lapangan tak pernah secantik data di atas kertas.
Ironi terjadi di lumbung sapi. Dahulu, saking melimpahnya sapi di Jatim, ada guyonan bahwa jumlah sapi di pasar hewan lebih banyak ketimbang jumlah peternak, blantik, dan jagal. Sekarang mungkin berbanding terbalik.
Kondisi itu sekaligus menjadi jawaban pertanyaan mengapa harga karkas di atas Rp90.000 per kg dan lepas tulang mendekati Rp100.000 per kg di Surabaya belakangan ini. Harga daging di pasar tradisional di Kota Pahlawan sudah di atas Rp100.000 per kg. Demikian pula di kota-kota lain di Jatim. Jika daging begitu mahal di lumbung sapi, tidak mengherankan bukan harga di daerah konsumen macam Jakarta selangit?
Menyelesaikan perkara sapi ini barangkali harus diawali dengan kerendahan hati untuk mengakui kondisi sebenarnya. Ada katakan ada. Tidak ada katakan tidak ada. Realistis adalah landasan perbaikan. Menganggap pemotongan sapi betina produktif sebatas masalah pelanggaran dan hukuman, tanpa menyelam ke dasar masalah, tidak akan membawa kita ke mana-mana.
Terlalu yakin pada data hanya akan melahirkan kelakar berikutnya. Di mana para blantik berburu sapi? Di mana pedagang daging membeli sapi? Bukan di kampung-kampung, bukan di pasar hewan. Dinas peternakan, jawabnya.