Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bangunan Hijau Masih Berkonsep Abu-Abu

TREN pembangunan green building atau bangunan hijau mulai marak di Indonesia beberapa tahun terakhir. Ada optimisme terhadap pertumbuhan pasar bagi bangunan hijau, selain juga tekanan bagi keberpihakan terhadap keberlangsungan lingkungan hidup.n
Ilustrasi/intiland.com
Ilustrasi/intiland.com

TREN pembangunan green building atau bangunan hijau mulai marak di Indonesia beberapa tahun terakhir. Ada optimisme terhadap pertumbuhan pasar bagi bangunan hijau, selain juga tekanan bagi keberpihakan terhadap keberlangsungan lingkungan hidup.

Akan tetapi, meski dilandasi idealisme yang tinggi, pembangunan green building tidak otomatis diserap pasar dengan cepat. Gedung-gedung hijau masih harus bersaing ketat dengan gedung biasa, meski sudah menawarkan nilai tambah yang berkualitas.

Green Building Council Indonesia (GBCI) menyatakan, suatu bangunan dapat memiliki sertifikat bangunan hijau jika bangunan tersebut dalam tahap perancangan, pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaannya memperhatikan aspek-aspek lingkungan. Aspek-aspek tersebut beserta syarat atau kriteria lebih rinci diatur oleh GBCI.

Saat ini, GBCI telah mensertifikasi 11 bangunan dengan kategori Bangunan Baru, enam untuk Gedung Terbangun, dan satu untuk Ruang Interior. Mayoritas gedung-gedung tersebut adalah menara perkantoran.

Selain itu, ada 16 gedung memperoleh Pengakuan Desain untuk Bangunan Baru, lalu 29 gedung dalam proses terdaftar untuk sertifikasi dan 54 telah terdaftar.

Direktur Riset Savils PCI Anton Sitorus menilai, saat ini pemahaman terhadap konsep bangunan hijau masih sangat terbatas, tetapi sudah mulai disadari sebagai tren masa depan. Menurutnya, tren preferensi terhadap bangunan hijau akan terus berkembang meski secara perlahan.

“Konsep green yang kebanyakan diterapkan di sini lebih ke kosmetik, belum ke prinsip green. Sebenarnya green building itu bukan cuma gedung ditanami tanaman, tapi sebagai langkah awal tidak apa-apa,” katanya.

Saat ini, permintaan terhadap bangunan hijau relatif tinggi berasal dari perusahaan-perusahaan asing. Perusahaan-perusahaan tersebut umumnya meminta ruang perkantoran yang mengusung nilai hijau demi branding perusahaan mereka.

Namun, di tengah tekanan terhadap perekonomian global, ekspansi perusahaan asing saat ini masih relatif tertekan. Di sisi lain, perusahaan lokal masih menitikberatkan pada aspek harga, padahal harga sewa atau beli bangunan hijau umumnya relatif mahal.

Direktur Servis Perkantoran Colliers International Indonesia Bagus Adikusumo mengatakan, sepanjang tahun lalu perang harga terjadi di antara para penyedia ruangan perkantoran dan tampaknya akan lebih sengit lagi tahun ini.

Nilai tambah yang diberikan pihak penyedia umumnya tidak begitu berpengaruh terhadap peningkatan keterisian selama harganya tidak kompetitif. Permintaan terhadap bangunan hijau pun masih akan melanjutnya tren pelemahan.

Namun, tren pelemahan tersebut tidak akan berlangsung untuk seterusnya. Beberapa tahun lalu, penyedia ruang perkantoran di gedung hijau sempat menikmati permintaan yang tinggi dan harga sewa yang sesuai di saat perekonomian tengah membaik.

Oleh karena itu, menurutnya permintaan akan kembali pulih di saat ekonomi kembali stabil di masa mendatang. Di saat ekonomi membaik, tren permintaan akan lebih menyasar produk yang mampu memberi nilai tambah bagi efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan bisnis.

Green building akan menjadi kebutuhan dan kewajiban bagi para penyewa di masa mendatang karena isu kecintaan terhadap Planet Bumi. Beberapa tenant besar saat ini sudah wajibkan green building dan saya kira tenant lain akan ikuti,” katanya.

Presiden Direktur PT Lestari Kirana Persada Hendra Gunawan mengatakan, investasi untuk membangun gedung hijau umumnya mencapai 10% hingga 15% lebih tinggi dibandingkan investasi untuk pembanguna gedung biasa. Selain itu, pengoperasiannya pun relatif lebih rumit.

PT Kirana Larasati Persada sejak 2013 lalu telah meluncurkan GKM Green Tower di koridor TB Simatupang yang berhasil meraih dua penghargaan sekaligus untuk prestasi bangunan hijau, yakni dari Green Building Council Indonesia (GBCI) dan BCA Green Mark Singapura.

Namun, prestasi tersebut tidak serta-merta diikuti tingginya permintaan. Hingga kini, baru 60% ruangan kantor di gedung tersebut yang terjual. Selain itu, pihaknya masih harus melakukan edukasi bagi para pengguna gedung agar terbiasa dengan prinsip hijau yang diterapkan.

Meksi relatif tertekan, dirinya meyakini masa depan yang cerah terhadap gedung-gedung yang mengusung konsep hijau. Melihat gelagat perekonomian yang mulai pulih, dirinya meyakini tahun ini 80% GKM Tower akan terisi.

Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Stevanus J. Manahampi mengatakan, isu tingginya investasi akan menjadi tantangan utama pengembangan gedung hijau di Indonesia. Sementara itu, perusahaan penyewa lokal umumnya sangat sensitif terhadap harga.

Menurutnya, permintaan terhadap bangunan hijau akan terus tertekan bila tidak mampu bersaing secara harga. Dirinya menilai, insentif pemerintah akan sangat dibutuhkan untuk mendukung perkembangan bangunan berwawasan lingkungan di Indonesia.

“Di Singapura, program green building dibantu pemerintah dengan insentif. Kalau developer memenuhi kualifikasi tertentu, negara memberi subsidi. Selama insentif ini tidak ada, mekanisme pasar yang akan berlaku dan hanya developer tertentu yang akan sanggup,” katanya.

Stevanus mengatakan, ada dua pendekatan bagi pembangunan green building. Pertama, pendekatan aktif desain, yakni dengan mengoptimalkan pemanfaatan teknologi unggulan. Kedua, pendekatan pasif desain, yakni melalui perencanaan desain arsitektur yang menyesuaikan diri dengan alam.

 “Saya kira, karena pembangunan green building ini ditentukan investasi, yang paling bijak tentu pendekatan pasif desain, karena investasinya hampir sama dengan gedung biasa. Kalau aktif desain, dampak investasinya bisa 20%-30% lebih tinggi karena selalu didorong untuk gunakan teknologi baru,” katanya.

Dirinya menilai konsep green bukanlah konsep yang baru di Indonesia, sebab sudah lama diterapkan dalam arsitektur lokal sebagai warisan budaya nusantara. Oleh karena itu, potensi pengembangan gedung berwawasan hijau akan cukup besar sebab berakar dari kearifan lokal.

Riset PricewarterhouseCoopers (PwC) bertema Real Estate 2020, Building the Future mengungkapkan, isu perubahan iklim akan menjadi indikator penentu arah tren pengembangan kota-kota di dunia di tahun-tahun mendatang.

Mengutip riset UN-HABITAT, PwC mengungkapkan, perkotaan menyumbang 70% dari gas buangan terkait efek rumah kaca, padahal hanya menempati 2% dari wilayah bumi. Sementara itu, lokasi mayoritas kota yang berada di dataran rendah sangat rentan terhadap isu kenaikan muka laut akibat perubahan iklim.

Kuatnya pengaruh perubahan iklim dan tingginya harga energi akan menjadi penentu seberapa cepat pembangunan berwawasan lingkungan menjadi tren dominan di seluruh dunia. Di 2020, PwC memproyeksikan seluruh gedung baru di kota-kota negara maju akan menerapkan prinsip keberlanjutan, dengan salah satu kriterianya yakni nilai-nilai hijau.

Namun, bila tekanan menuju tren tersebut begitu cepat terjadi sebelum sempat diantisipasi pasar, bukan tidak mungkin perang harga di antara gedung-gedung hijau akan lebih sengit terjadi, tidak saja di Indonesia, tapi di seluruh dunia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Sumber : Harian Bisnis Indonesi Edisi Selasa (22/3/2016)
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper