Bisnis.com, NEW DELHI—Penerapan public private partnership atau kerja sama pemerintah-swasta secara luas dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia menghadapi dua tantangan besar yaitu pembagian risiko dan masalah budaya.
Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro menjelaskan di satu sisi anggaran negara tidak bisa terlalu jauh terkena risiko apabila proyek mengalami kegagalan, di sisi lain pihak swasta sebagai rekanan pemerintah juga berupaya meminimalkan risiko.
Masalah kedua, ujarnya, berasal dari sisi kultural. Menkeu menuturkan berbagai kementerian telah nyaman menggunakan anggaran murni untuk membiayai proyek dan belum terbiasa memakai skema PPP.
"Ketika PPP diterapkan, mereka harus bekerja sama dengan swasta, proyek jadi tidak bisa dikendalikan sendiri, padahal kami membutuhkan US$400 miliar dalam 5 tahun ini, anggaran negara tidak cukup," ujarnya dalam Advancing Asia Conference: Investing for the Future, Sabtu (13/3/2016).
Namun, Bambang optimistis skema ini bisa segera menjadi andalan karena pemerintah telah secara selektif memilih proyek mana saja yang akan dibangun menggunakan skema PPP, seperti pembangkit listrik, bandara dan pelabuhan yang memiliki nilai komersial tinggi. Selain itu, dia mengatakan skema PPP akan menambah kemampuan dan kapasitas perusahaan nasional.
Pada kesempatan yang sama, Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan tiga pilar--yakni fiskal yang kuat, kerangka politik, dan pengetahuan serta keahlian--diperlukan agar penerapan public private partnership (PPP) dapat berkelanjutan dan menjangkau proyek-proyek yang berpotensi menggerakkan perekonomian.
Vitor Gaspar, Direktur Departemen Fiskal IMF, menuturkan kerangka fiskal yang kuat menjadi pilar pertama. Menurutnya, sekalipun secara nominal tidak mampu membiayai seluruh proyek, tetapi anggaran negara adalah kunci mitigasi risiko fiskal.
"Pemerintah melalui anggarannya harus menjadi pemandu dan mungkin memberi insentif agar dana-dana swasta di sistem perbankan atau milik investor asing masuk dalam skema PPP. Di sisi lain, anggaran pemerintah juga menjadi bantalan bagi risiko fiskal," katanya.
Pilar kedua, kerangka politik yang kuat. Vitor menuturkan, komitmen politik dari otoritas akan memberi rasa nyaman bagi investor dan bisa diperluas sebagai resolusi apabila terjadi sengketa.
Ketiga, kerangka pengetahuan dan keahlian. Dia menambahkan, sejumlah proyek yang biasanya ditawarkan dengan skema PPP adalah proyek yang memiliki kompleksitas tinggi.
Selain itu, IMF juga menawarkan tujuh resep untuk mengatasi ketimpangan pendapatan yang terjadi dan terus memburuk di sekujur Benua Asia.
Dalam riset lembaga ini, terekam 15 dari 22 negara Asia terus menanjak sejak 1990 hingga 2014. The Fund juga mencatat, Asia masih merupakan rumah bagi 2/3 penduduk miskin dunia. Selain itu, banyak perempuan dan kaum muda yang kesulitan mengakses pasar tenaga kerja.
Managing Director IMF Christine Lagarde, dalam pidato pembukaan Advancing Asia Conference: Investing for the Future, Sabtu (12/3/2016) menyatakan situasi-situasi tersebut merupakan tantangan sekaligus juga peluang.
“Bisakah kemiskinan dikurangi, perempuan dan kaum muda lebih berdaya? Bisakah pertumbuhan ekonomi lebih inklusif dan berkelanjutan? Bisakah 4,4 miliar orang Asia meraih potensinya? Kami bisa membayangkan kemungkinan ini. Kita hanya harus merealisasikan enam langkah ini," tutur Lagarde.
Managing Director IMF Lagarde menjawab pertanyaan dari peserta konferensi bertema Advancing Asia: Investing for the Future di New Delhi, India. Melinda, co-founder of Bill and Melinda Gates Foundation, (kanan). (retuters)
Sasaran Pembangunan
Dia menjelaskan keenam langkah tersebut di antaranya pertama, segera memperluas akses layanan publik seperti kesehatan dan finansial.
Kedua, mendorong (leveraging) dampak dari kebijakan fiskal. Menurut Lagarde, prioritas program sosial yang dirilis oleh pemerintah harus secara akurat menyasar kelompok yang paling membutuhkan.
"Selain itu, redistribusi yang efektif juga lebih penting ketimbang subsidi umum, serta tak kalah penting adalah membuat pajak menjadi lebih progresif," lanjutnya.
Ketiga, memperkuat peran perempuan dengan membuka selas mungkin akses pendidikan dengan kualitas terbaik untuk anak-anak perempuan, menyingkirkan hambatan-hambatan legal atau logistik, dan mempermudah perempuan yang bekerja dan mengurus keluarga.
IMF menyebutkan kemudahan mengakses pasar tenaga kerja bagi kaum muda merupakan tameng bagi negara-negara yang populasinya mulai memasuki masa penuaan.
Keempat, terus menambah investasi di sektor infrastruktur, sekaligus membuat investasi tersebut lebih efisien. "Ada 800 juta orang di Asia yang belum bisa mengakses air, sanitasi dan listrik," tutur Lagarde.
Kelima, memperdalam dan memperluas integrasi perdagangan bisa membantu menggamit pertumbuhan yang lebih berkelanjutan. Liberalisasi perdagangan multilateral, lanjutnya, memiliki potensi untuk memperkuat kesejahteraan global.
Lagarde menyampaikan, langkah keenam dan ketujuh adalah bagaimana negara-negara di Asia mampu memahami tantangan perubahan iklim serta good governance.
"Desember tahun lalu, 186 negara telah meneken Paris Agreement. Sekarang, mereka harus merealisasikan janji tersebut, termasuk carbon-pricing dan reformasi subsidi energi. Asia, tentu saja, membutuhkan upaya masif dalam hal ini," tukas Lagarde.