Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PEMULIHAN EKONOMI GLOBAL Butuh Sistem Moneter Baru Abad Ini

Bank Sentral India menyerukan kepada para pemimpin organisasi internasional dan bank sentral negara-negara berkembang untuk menginisasi pembaharuan 'aturan main' penetapan kebijakan moneter guna mendorong pemulihan ekonomi global.
Menteri Keuangan India Arun Jaitley (kiri) berbincang dengan Managing Director IMF Christine Lagarde. /Reuters-Anindito
Menteri Keuangan India Arun Jaitley (kiri) berbincang dengan Managing Director IMF Christine Lagarde. /Reuters-Anindito

Bisnis.com, NEW DELHI - Bank Sentral India menyerukan kepada para pemimpin organisasi internasional dan bank sentral negara-negara berkembang untuk menginisasi pembaharuan 'aturan main' penetapan kebijakan moneter guna mendorong pemulihan ekonomi global.

Gubernur Reserve Bank of India (RBI) Raghuram Rajan mengemukakan bank sentral negara maju kini tidak lagi memiliki opsi selain terus menempuh kebijakan moneter nonkonvensional untuk mendorong ekonomi domestik.

Pada saat yang sama, lanjutnya, cakupan tanggung jawab internasional masih tidak jelas. Akibatnya, kata Raghuram, ekses negatif dari kebijakan tersebut meluas (spillover) secara internasional tanpa ada pihak yang mau mengambil inisiatif untuk memperbaiki situasi.

Tercatat, empat bank sentral di Benua Eropa, plus Jepang, telah menempuh kebijakan tingkat bunga negatif (negative interest rate). Sebelumnya, kata Raghuram, dunia juga telah diperkenalkan dengan quantitative easing (QE).

“Bagi bank sentral negara maju, melakukan apa saja untuk mengerek inflasi adalah keharusan, tidak peduli apa dampaknya bagi eksternal. Tentu saja, ini mengindikasikan asimetri tanggung jawab yang serius,” kata Raghuram dalam Advancing Asia Conference: Investing for the Future, Sabtu (12/3/2016).

Lebih konkret, Raghuram memberi tawaran analogi sekaligus koridor terhadap kebijakan moneter yang akan diputuskan oleh otoritas moneter di seluruh dunia, yakni hijau, oranye dan merah.

Dia mencontohkan ragam kebijakan yang memberikan sedikit efek positif secara eksternal, dan barangkali bisa mendorong pemulihan komunitas global ditandai sebagai kebijakan hijau, sedangkan kebijakan yang digunakan secara temporer dan dengan kehati-hatian sebagai kebijakan oranye.

Adapun kebijakan merah adalah kebijakan yang harus selalu dihindari karena bisa membawa efek buruk secara eksternal dan hanya memberi sedikit dampak positif di dalam negeri.

Dia menuturkan suatu kebijakan bisa berubah dari klasifikasi merah ke hijau atau sebaliknya karena evaluasi perlu dilakukan secara berkelanjutan dari waktu ke waktu.

Untuk memulainya, Raghuram menyatakan, dibutuhkan diskusi para ahli yang harus merepresentasikan secara seimbang antara kepentingan negara maju dan negara berkembang.

Berikutnya, organisasi internasional seperti International Monetary Fund (IMF), Bank of International Settlement (BIS) atau bahkan Group of Twenty (G20) untuk menyusun kesepakatan atau perjanjian internasional berdasarkan latar belakang dari analisa para ahli tersebut.

“Komunitas internasional selalu punya pilihan. Kita bisa berpura-pura bahwa sisten finansial global masih baik-baik saja sembari berharap tidak ada sesuatu yang sangat buruk tiba-tiba terjadi. Atau kita bisa mulai membangun sebuah sistem baru bagi dunia di abad ini,” tukasnya.

Senada dengan Rajan, mantan Menteri Keuangan RI Chatib Basri mengungkapkan negara maju perlu memberbaiki komunikasi dan koordinasi kebijakan dengan negara berkembang untuk menghindari volatilitas pasar global yang terlalu kencang.

“Ketika komunikasi berjalan baik dan jelas, negara berkembang bisa mempersiapkan diri secara internal dan mereduksi elemen keterkejutan. Ketika the Fed melakukan pengetatan pada akhir 2015, pasar telah membaca dan dampaknya menjadi lebih terkendali,” tuturnya.

Selain itu, IMF bisa menginisiasi ‘keranjang likuiditas’ (liquidity pool fund) yang bisa diakses oleh negara-negara berkembang sebagai bemper likuiditas ketika arus modal keluar menderas akibat sentimen dari kebijakan atau manuver negara maju.

Menanggapi hal itu, Managing Director IMF Christine Lagarde menyampaikan unconventional monetary policy seperti kebijakan tingkat bunga negatif masih diperlukan untuk mengerek inflasi.

Namun, dia mengakui bahwa kebijakan moneter tidak boleh dipandang sebagai satu-satunya cara untuk menyelesaikan permasalahan. Kebijakan moneter, tuturnya, juga tidak cukup memadai untuk mengatasi masalah-masalah struktural.

Untuk itu, pihaknya dengan tangan terbuka menerima usulan tersebut. IMF, lanjutnya, siap mengakomodir adanya 'rute baru' bagi koordinasi kebijakan moneter global. “IMF akan menjadi tempat yang baik untuk diskusi dan perumusan agenda tersebut,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Arys Aditya
Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia, Senin (14/3/2016)
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper