Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku usaha mamin menilai pasar ekspor di Afrika dan Amerika Selatan sangat potensial untuk ditingkatkan, namun demikian perlu ada perjanjian resiprokal untuk menekan tarif bea masuk.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan Pemerintah Indonesia belum melakukan perjanjian kerjasama perdagangan berasas resiprokal dengan negara-negara yang berada di kawasan Amerika Selatan dan Afrika. Sehingga, tarif bea masuk yang dibebankan ke industri mamin cukup tinggi, rata-rata mencapai 30%.
"Perlu ada kerjasama perjanjian perdagangan yang dilakukan antar pemerintah dengan menganut asas resiprokal. Bila perjanjian sudah ada, paling tidak pengenaan tarif bea masuk produk impor dari kawasan tersebut ke Indonesia harus sama dengan tarif bea masuk produk ekspor Indonesia," katanya kepada Bisnis.com, Selasa (1/3).
Menurut Adhi, industri mamin sangat potensial untuk masuk ke negara emerging market seperti Afrika dan Amerika Selatan karena negara tersebut membutuhkan produk pangan olahan. Ditambah, dari segi regulasi yang lebih mudah dipenuhi oleh eksportir.
Salah satu bahan baku mentah yang sudah diekspor ke kawasan tersebut, seperti minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), dan kakao.
"Namun, juga ada produk olahan yang sudah kita ekspor ke sana, misalnya bubuk kopi, permen, makanan ringan, olahan mie, dan lain-lain."
Dirjen Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan (Kemdag) Nus Nuzulina mengatakan pemerintah siap mempertimbangkan usulan dari pelaku industri untuk melakukan perjanjian kerjasama perdagangan dengan negara tersebut demi menggenjot nilai ekspor.
Menurutnya, ekspor makanan olahan di sejumlah negara berkembang mencatatkan pertumbuhan lebih dari 10% bila direrata sepanjang lima tahun terakhir.
"Memang betul, agar volume ekspor bisa meningkat perlu ada kerjasama government to government berasaskan resiprokal. Kami akan pertimbangkan lagi, entah nantinya berbentuk kesepakatan kerja sama perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) atau lainnya," ujarnya.
Berdasarkan catatan dari kementerian, sepanjang 2011-2015 rata-rata pertumbuhan ekspor makanan olahan di Nigeria cukup baik 5,96% dengan nilai ekspor US$43,9 juta. Dari kawasan Amerika Selatan, di negara Meksiko sebesar 12,45% dengan nilai US$23,6 juta, dan Brazil sebesar 22,54% dengan nilai US$23,2 juta.
"Dari 30 negara terbesar tujuan ekspor, rata-rata pertumbuhan selama lima tahun terakhir untuk wilayah Afrika dan Amerika Selatan cukup bagus prospek ke depannya."
Prospek makanan olahan
Adi melanjutkan, secara prospek dia berharap pada tahun ini ekspor produk makanan olahan dapat tumbuh 10% dari realisasi tahun lalu yang turun 4% menjadi US$5,16 miliar.
"Secara normal seharusnya ekspor makanan olahan bisa tumbuh 10%, tapi karena efek perlambatan ekonomi realisasi ekspor turun 4%. Kami prediksi dari kondisi ekonomi makro membaik akan membuat pelaku industri lebih ekspansif ekspor."
Optimisme yang sama diungkapkan oleh Nus, menurutnya, dari rentang waktu lima tahun terakhir, ekspor makanan olahan rata-rata tumbuh 7,43%.
"Pada 2011, realisasi ekspor mencapai US$4,02 miliar dan pada 2015 tumbuh menjadi US$5,15 miliar. Tren ini kami yakini bakal terus tumbuh positif ke depannya."
Dari realisasi ekspor makanan olahan pada tahun lalu, produk rokok menjadi kontributor utama dengan nilainya mencapai US$765,5 juta. Kemudian, rokok dengan tembakau sebesar US$780 juta, udang US$345 juta, dan ekstrak kopi US$338 juta.
Bila dilihat dari negara tujuan ekspor, negara yang menjadi pengimpor terbesar adalah Amerika Serikat dengan nilai US$674,5 juta, Malaysia US$546,3 juta, Filipina US$504 juta, dan Vietnam US$281,9 juta.