Bisnis.com, JAKARTA—Kalangan pengusaha memproyeksikan akan ada potensi pemutusan hubungan kerja karyawan bila pemerintah tetap memaksakan pengusaha membayar iuran Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Sasmita mengatakan daya saing pengusaha dalam negeri saat ini sudah sangat tertekan dibandingkan negara lain akibat berbagai beban, termasuk aneka iuran dan suku bunga.
Bila iuran tapera ditambahkan lagi ke dalam beban pengusaha, iklim usaha dalam negeri menjadi semakin tidak kompetitif.
“Kita kalau menggaji satu karyawan Rp3 juta, sebenarnya kita membayar 50% lebih tinggi, jadi Rp4,5 juta. Kalau ditambah beban lagi, ujung-ujungnya kita bisa mengurangi karyawan. Kita beli barang jadi saja dari luar negeri. Akibatnya negara hanya jadi pasar bagi asing,” katanya, Jumat (26/2/2016).
Dirinya mengatakan kalangan pengusaha menolak UU Tapera yang sudah disahkan DPR RI pada Selasa (23/2/2016). Alasan penolakan tidak saja karena ada beban iuran tambahan bagi pengusaha dan pekerja, tetapi juga karena peran yang dimainkan Tapera sudah diakomodasi oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Adanya dua lembaga pengumpul dana yang mengakomodasi tujuan yang sama dan dengan sumber pendanaan yang sama sangat tidak efektif.
Seturut ketentuan PP 55/2015 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, pengembangan dana sosial JHT pada instrumen investasi untuk mendukung program perumahan paling banyak 30% (Pasal 37 A).
Saat ini, aset JHT yang terkumpul selama 32 tahun sekitar Rp180 triliun, sehingga dapat digunakan untuk program perumahan sebesar Rp54 triliun.
“Program Tapera ini sudah tidak logis, sehingga kita tidak tertarik lagi bicara angka karena kita sudah menolak. Kita ingin ini dibatalkan,” katanya.