Bisnis.com, JAKARTA –Ketua Umum Gabungan Asosiasi Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman mengatakan kelapa memang saat ini tengah menjadi tren, terutama di Amerika Serikat. Banyak sekali produk kelapa yang diminati di negara tersebut, terutama air kelapa.
Selain air kelapa, permintaan yang cukup besar juga untuk produk desiccated coconut, santan, dan beberapa produk turunan kelapa lainnya.
Adhi mengatakan saat ini Indonesia sudah banyak mengekspor air kelapa, dengan sebagian besar diantaranya diekspor dalam bentuk curah yang kemudian dikemas di AS, atau dikirim ke negara lain yang kemudian kembali dijual ke Amerika.
“(dalam produk tersebut) Ditulis di sana coconut from Indonesia. Mereknya dari Amerika atau negara lainnya,” kata Adhi.
Sementara itu, masalah pengembangan kelapa di Indoensia adalah masih belum adanya bahan baku dari perkebunan. Bahan baku kelapa sejauh ini berasal dari lahan rakyat. Kendati demikian masih ada peluang untuk mengembangkan perkebunan kelapa seperti yang pernah dilakukan pada kelapa sawit.
Menurutnya, sawit juga memiliki masalah serupa sebelum berkembang seperti saat ini. Tetapi untuk itu, perlu adanya kerja sama dan juga dukungan dari pemerintah berupa kredit lunak yang kemudian membuat perusahaan-perusahaan besar masuk untuk mengelola perkebunan.
“Sepertinya ini juga perlu diperlakukan seperti itu.”
Peluang untuk menguatkan komoditas kelapa juga diungkapkan oleh Menteri Perdagangan Thomas T. Lembong. Dirinya mengatakan dalam pertemuannya dengan Unilever di Davos, Swis, disampaikan bahwa ada peluang yang besar di sektor kelapa.
“Mereka mengeluhkan defisit yang semakin struktural di gula kelapa. Itu tentu jadi menjadi perhatian, bagaiman kita bisa garap peluang seperti itu,” kata Thomas.
Komoditas tersebut rencananya akan masuk dalam salah satu komoditas yang akan dicoba untuk diterapkan dalam mekanisme bisnis agregator yang akan dikelola oleh BUMN bersama komoditas lainnya seperti pala, gambir, kayu putih, dan kelapa.
Selama ini ekspor kelapa dari Indonesia hanya dilakukan dalam bentuk mentah, sementara negara-negara lainnnya menikmati jasa-jasa yang mengitari ekspor tersebut mulai dari pengolahan, pensortiran, pengemasan, penjaminan mutu, dan konsistensi produk.
“Justru nilai tambahnya di situ, bukan di pertaniannya. Saya mau rebut kembali jasa-jasa nilai tambah yang sekarang dilakukan oleh pedagang Thailand, Filipina, dan India,” ujar Thomas.