Bisnis.com, JAKARTA--Penerapan single billing di Indonesia masih memiliki kendala terkait kesiapan sumber daya manusia (SDM) mengerjakan sistem pembayaran jasa kepelabuhan secara elektronik.
Praktisi Kepelabuhan Supply Chain Indonesia (SCI) Anang Hidayat menyatakan, Paket Kebijakan Ekonomi ke IX yang juga menyinggung tentang penyatuan pembayaran jasa-jasa kepelabuhan secara elektronik (single billing) mutlak diperlukan.
Hal itu sangat membantu, terutama dengan sistem IT akan lebih menghemat waktu, dan apabila itu diintegrasikan dengan moda yang ada sekarang menjadi lebih efisien, ujar Anang kepada Bisnis, Kamis (4/2).
Menurut Anang, single billing sangat memudahkan pelayanan, selain itu model elektronik yang ditawarkan sangat transparan.
Jadi jika ada yang mau main-main pasti ketahuan, ungkapnya.
Anang juga menilai sistem Indonesia National Single Window (INSW) sangat menunjang proses kepabeanan.
Menurutnya, selama ini sistem informasi pergerakan barang di pelabuhan secara transparan dan terintegrasi dengan baik.
Harusnya INSW ini bisa diberlakukan sejaka lama, sekarang memang agak terlambat tetapi dibandingkan menunda lagi, layanan kepelabuhan akan semakin buruk, terangnya.
Anang hanya menyoroti pentingnya penguatan infrastruktur penunjang INSW serta sumber daya manusia yang menjalankannya.
SDM harus bisa mengoperasikan sistem dengan baik, sehingga SDM yang bekerja harus ditingkatkan skill dan pemahamannya, ujar Anang.
Sementara itu, praktisi kepelabuhan SCI lainnya, M. Iskandar menilai dua rencana atas layanan kepelabuhan yakni; pelaksanaan single billing dan pusat konsolidasi cargo ekspor dan impor memiliki benang merah yakni menekan lamanya dwelling time. Iskandar pun mengingatkan agar pemerintah jangan sampai lupa menekan biaya pelabuhan yang tinggi.
Biaya tinggi itu selama ini banyak dikeluhkan oleh pengguna jasa karena ketidakjelasn biaya-biaya yang selama ini ditagihkan, terang Iskandar.
Jika pemerintah mampu memanfaatkan single billing dan pusat konsolidasi cargo sebagai saran pemantauan mekanisme kerja di pelabuhan, maka hal tersebut akan sangat membantu untuk menekan biaya.
Pemerintah harus mampu memetakan seluruh jenis biaya yang ada di pelabuhan, besaran nilai batas atas atau batas bawah yang dapat ditagihkan ke pengguna jasa, tuturnya.
Adapun beberapa contoh ketidaksamaan atau kesewenangan yang biasa dilakukan oleh penyedia jasa antara lain; pertama, biaya tebus DO atau tebus kargo FCL antar shipping company memiliki disparitas biaya yang sangat mencolok. Kedua, biaya jaminan container antar shipping company juga memiliki selisih yang besar.
Ada yang membebaskan jaminan container dan ada yang meminta jaminan bahkan sampai Rp5 juta per container, ungkap Iskandar.
Ketiga, biaya overbrangen (OB) container ke lapangan TPS bisa dikontrol oleh pemerintah. Keempat, biaya container freight station (CFS) secara mekanik atau delivery untuk kargo konsolidasi ekspor impor bisa dilakukan penyeragaman.
Menurut Iskandar, banyak kasus dimana importir harus membayar biaya DO yang mahal kepada konsolidator. Hal ini disebut Iskandar sebagai bentuk praktik bisnis yang tidak sehat dimana konsolidator memberikan rebate atau komisi kepada agen yang berada di port of loading.