Bisnis.com, JAKARTA - Tentu Anda masih ingat wacana geothermal fund, dana dari APBN yang akan digunakan untuk mengembangkan panas bumi, salah satu jenis energi terbarukan.
Pasalnya, pengembangan energi panas bumi berjalan lambat akibat berbagai faktor terutama investasi yang mahal dan harga energi terbarukan yang masih tergolong mahal dibandingkan dengan energi fosil seperti minyak bumi, gas, dan batu bara.
Namun, wacana itu pupus setelah tidak ada alokasi anggaran untuk geothermal fund dalam APBN 2016. Persoalan utama dari energi terbarukan yaitu investasi yang mahal sehingga kurang menarik bagi investor.
Di sisi lain, Indonesia memiliki komitmen untuk meningkatkan bauran energi terbarukan 23% pada 2025. Padahal, pasar energi terbarukan cukup menjanjikan. Untuk mencapai target bauran energi terbarukan 23% tersebut dibutuhkan investasi Rp1.600 triliun hingga 2025.
Dari jumlah tersebut sebesar Rp1.400 triliun diharapkan diperoleh dari investasi, sedang kan sisanya dari APBN. Berangkat dari beberapa persoalan itu, maka pemerintah mengeluarkan ide berupa dana ketahanan energi. Dana tersebut akan diambil dari penjualan Premium dan solar masing-masing Rp200 per liter dan Rp300 per liter.
Dari pungutan itu diproyeksikan akan menghasilkan Rp16 triliun selama 2016. Setelah muncul pro dan kontra, pungutan dana ketahanan energi ditunda karena tidak memiliki payung hukum yang kuat. Menyikapi hal tersebut, pemerintah pun siap menerbitkan peraturan pemerintah yang akan dijadikan sebagai landasan hukum dalam memungut dana tersebut.
Namun, tidak cukup dengan payung hukum tersebut, karena dana ketahanan energi perlu dibahas dalam APBN-P 2016 sehingga tidak menyalahi prosedur. Dana tersebut kemudian menjadi sumber pendapatan baru dalam APBN.
Sebenarnya dana ketahanan energi ini memiliki model yang hampir serupa dengan pungutan ekspor minyak sawit atau CPO fund, dana pungutan ekspor CPO US$50 per ton.
CPO fund itu digunakan untuk pengembangan energi terbarukan berupa biodiesel berbasis minyak sawit. Namun, ada perbedaan mendasar antara dana ketahanan energi dan CPO fund, yaitu dalam pengelolaan.
Dana ketahanan energi masuk struktur keuangan negara yang masuk APBN, sedangkan CPO fund tidak masuk kategori penerimaan negara sehingga bisa langsung dikembalikan kesektornya yaitu subsidi biodiesel dan pembangunan perkebunan kelapa sawit.
PERSOALAN TARIF
Terkait dengan target pengembangan energi terbarukan, pemerintah mengeluarkan kebijakan feed in tariff, yaitu berapapun harga listrik dari energi terbarukan akan dibeli oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Selanjutnya selisih harga akan disubsidi oleh negara. Namun, kebijakan feed in tariff pun tidak mudah diimplementasikan karena PLN enggan menanggung kerugian. Pasalnya, belum disiapkan anggaran untuk menutup selisih harga listrik dari energi terbarukan.
Pemerintah telah memberikan subsidi tetap untuk listrik dalam APBN 2016 senilai sekitar Rp31 triliun. Dana tersebut akan digunakan untuk menyubsidi pelanggan miskin dengan daya 450 VA dan 900 VA yang mencapai 46 juta pelanggan.
Jadi, tidak ada anggaran untuk subsidi energi terbarukan sehingga kebijakan feed in tariff pun sulit berjalan. Solusi yang akan diambil oleh pemerintah melalui pungutan dana ketahanan energi untuk mengembangkan energi terbarukan.
Sebagai contoh, nasib dari pengembang listrik minihidro yang hingga kini masih terkatung-katung karena PLN belum bersedia meneken perjanjian jual beli listrik dengan alasan tarifnya terlalu mahal. Hal serupa juga terjadi pada panas bumi.
Tidak sedikit terjadi tarik ulur antara PLN dengan pengembang panas bumi dalam menetapkan tarif jual beli listrik.
Di sektor setrum keseriusan pemerintah untuk mendorong pemanfaatan energi baru dan terbarukan kembali diuji. Pasalnya, dalam megaproyek pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW), porsi energi ramah lingkungan hingga 25% atau sama dengan porsi energi fosil berupa gas.
Sementara sisanya sebesar 50% menggunakan batu bara dan minyak yaitu solar. Jadi, memang harga energi terbarukan lebih mahal dibandingkan dengan energi fosil yang saat ini sedang turun drastis.
Merosotnya harga minyak, gas, batu bara menyebabkan gap antara energi fosil dan energi terbarukan semakin lebar. Artinya, upaya pengembangan energi terbarukan menghadapi tantangan yang kian berat.
Di sinilah diperlukan ke sungguhan pemerintah dalam mendorong pengemban-gan energi terbarukan untuk mencapai target bauran energi 23% pada 2025. Sementara saat ini pemerintah masih gamang dalam menentukan kebijakan energi terbarukan. Belum ada kepastian sikap dari pemerintah soal energi terbarukan ini.
Pemerintah tidak perlu ragu-ragu dan perlu mengubah bisnis yang tidak menarik secara ekonomi ini menjadi diminati para investor. Padahal, bisnis sektor energi terbarukan cukup menjanjikan, tetapi sulit dijalankan karena berbagai tantangan. ()