Bisnis.com, JAKARTA - Bagi Indonesia, tahun ini bisa disebut sebagai tahun penentuan mau ke mana arah perekonomian bangsa dikayuh asalnya, 2015 ini, fondasi perekonomian benar-benar harus berubah lantaran perkembangan sejumlah faktor baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Perubahan itu terjadi bukan tanpa alasan. Naiknya Presiden Joko Widodo ke tampuk kekuasaan mewarisi kondisi perekonomian yang melamban dan tidak maksimal, layaknya bus Metro Mini tua yang belakangan terancam bakal dikandangkan.
Alhasil, langkah perubahan yang ekstrem harus diambil oleh pemerintah pada 2015. Perekonomian global mengalami perlambatan termasuk China yang tahun ini pertumbuhan ekonominya hanya sebesar 7% dibandingkan dengan beberapa waktu silam yang mencapai di atas dua digit.
Perlambatan ini turut mempengaruhi pergerakan ekonomi Indonesia yang mayoritas ekspor komoditasnya diserap oleh Negeri Tembok Raksasa itu. Lihat saja risalah Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengatakan ekonomi Indonesia pada kuartal III/2015 tumbuh 4,73% meningkat dibandingkan dengan kuartal II/2015 yang tumbuh 4,67%, tetapi lebih lambat dibandingkan dengan capaian kuartal III/2014 yang tumbuh 4,92%.
Sebelumnya, ekonomi Indonesia pada kuartal III/2015 terhadap kuartal sebelumnya tumbuh 3,21%. Ekonomi Indonesia sampai dengan kuartal III/2015 tumbuh 4,71%.
Dari sisi produksi, pertumbuhan didorong oleh semua lapangan usaha kecuali pertambangan dan penggalian yang mengalami penurunan 4,48%. Sedangkan dari sisi pengeluaran didorong oleh salah satunya, komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga yang tumbuh 4,98%.
Tidak hanya China, pada saat yang sama Bank Sentral Amerika Serikat mulai meng-ambil ancang-ancang menaikkan tingkat suku bunga, yang baru terealisasi di pengujung tahun. Hal ini menyebabkan dana-dana yang berasal dari Negeri Paman Sam mulai pulang kampung.
Faktor ini turut berkontribusi terhadap perlambatan ekonomi, menyebabkan kurs bergejolak hingga sempat menyentuh angka di atas Rp14.000 per dolar AS.
Karena itu, perlu langkah besar untuk mengubah fondasi perekonomian bangsa sehingga menjadi lebih tahan banting terhadap gejolak eksternal. Berbagai perlambatan itu memberikan efek bola salju terhadap masyarakat luas.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia melansir angka kemis-kinan September 2014 hingga September 2015 bertambah 1,5 juta jiwa.
Sebelumnya, BPS telah melaporkan jumlah penduduk miskin di Tanah Air pada Maret 2015 sebanyak 28,59 juta jiwa baik di perkotaan maupun di perdesaan. Jika dibandingkan dengan periode September 2014, angka penduduk miskin bertambah 27,73 juta orang. Rasio gini pun makin menganga hingga mencapai titik 0,41 dari tahun sebelumnya berkisar 0,38.
Menurut Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), rasio gini makin meningkat lantaran kemampuan orang kaya di Indonesia untuk menambah pendapatan jauh lebih cepat dibandingkan kemampuan orang miskin.
Dengan kata lain, meski sama-sama mengalami peningkatan pendapatan, 10% rakyat kelas atas lebih mampu untuk melipatgandakan pendapatan dibandingkan 90% rakyat yang berada di strata bawah.
Karena itulah, sebuah langkah besar harus diambil oleh pemerintah dengan menggulirkan sejumlah paket deregulasi yang sampai akhir 2015 telah mencapai delapan paket dengan tujuan menguatkan sektor perindustrian serta tidak lupa mendorong daya beli masyarakat.
TULANG PUNGGUNG
Sektor perindustrian menjadi tulang punggung perekonomian baru menggantikan ekspor komoditas yang rentan terhadap fluktuasi harga di pasar internasional. Paket kebijakan jilid I berisi tiga sasaran utama yakni percepatan eksekusi proyek-proyek strategis nasional, meningkatkan daya saing industri, dan mendorong investasi di sektor properti.
Tidak hanya percepatan, daya saing industri juga ditingkatkan dengan melakukan deregulasi. Jokowi mengatakan bahwa ada 89 peraturan dari 154 regulasi yang sifatnya menghambat daya saing industri.
Sementara itu, paket kedua dan ketiga terfokus pada upaya menarik investasi masuk melalui deregulasi dan debirokratisasi serta menurunkan sejumlah harga komponen seperti bahan bakar.
Langkah ini diambil pemerintah untuk meningkatkan iklim investasi untuk mem-perkuat kondisi pasar keuangan Indonesia sehingga devisa bertambah, juga untuk memperkuat fondasi perusahaan karena permodalan yang makin lancar.
Begitu pula paket-paket selanjutnya yang memberikan insentif kepada pelaku usaha serta masyarakat seperti penurunan pajak penghasilan (Pph) baik perorangan maupun badan usaha, serta penghapusan bea masuk impor sejumlah komponen industri maupun suku cadang.
Sejumlah ekonom, salah satunya Firmanzah yang merupakan Rektor Universitas Paramadina dan juga Ekonom DBS Indonesia mengungkapkan paket-paket kebijakan yang digelontorkan oleh pemerintah merupakan langkah untuk mendorong industrialisasi di Tanah Air, meski efeknya baru akan dirasakan dalam jangka menengah dan panjang.
Hingga pengujung 2015, pemerintah mengklaim mencapai prestasi penerimaan pajak mencapai lebih dari Rp1000 triliun meski realisasi penerimaan pajak tahun ini diperkirakan hanya berkisar 84% dari APBNP 2015 (minus PPh Migas) sebesar Rp1.244,7 triliun atau shortfall sekitar Rp224,04 triliun - Rp246,94 triliun.
Hal inilah yang menyebabkan pemerintah giat menggali sumber-sumber pendapatan dengan melakukan pemeriksaan kembali dokumen untuk menagih kekurangan pembayaran tahun ini demi mencapai target penerimaan.
Dengan melihat perjalanan sepanjang tahun ini, pantaslah 2015 ini disebut sebagai tahun penentuan yang akan menjadi batu pijakan bagi Indonesia dalam menapaki 2016 dengan optimisme yang tinggi sehingga perekonomian bangsa bisa bertumbuh lebih tinggi serta tidak lupa merata sehingga jurang ketimpangan bisa menyempit.
Di sektor cukai dan kepabeanan, capaiannya diperkirakan lebih tinggi berkisar 90%.
Pada November 2015, tercatat penerimaan dari sektor ini telah mencapa Rp135,4 triliun hingga November 2015 atau 69% dari target tahun ini sebesar Rp195 triliun, Ditjen Bea dan Cukai berhasil melakukan penagihan pajak yang berkaitan dengan cukai dan impor serta ekspor dengan sebesar Rp169,1 triliun.