Bisnis.com, JAKARTA--Seorang pengusaha memiliki peluang untuk mencetak penghasilan tanpa batas. Tak sedikit kalangan profesional yang masih aktif bekerja maupun yang sudah pensiun untuk coba-coba jadi pengusaha. Sayangnya, menjadi pengusaha tidak semudah membalikan telapak tangan. Tidak semua orang menyadari akan hal ini.
Menurut Business & Wealth Coach dari Vanaya Institute Lyra Puspa, menjadi seorang pengusaha sebenarnya bukanlah hal yang mudah bagi orang yang sebelumnya adalah seorang profesional yang bekerja di sebuah perusahaan.
“Ini berkaitan dengan masalah habit, mungkin 10% bisa menjalaninya, tapi 90% tidak,” katanya.
Saat seseorang meniti karir profesional, dia terbiasa untuk mengatur penghasilan yang sudah pasti diterima setiap bulan dalam jumlah sama. Dia harus mampu mengatur keuangannya agar penghasilan tersebut dapat memenuhi semua kebutuhan bahkan memikirkan bagaimana caranya agar ada alokasi untuk menabung dan berinvestasi.
Sementara seorang pengusaha, harus berupaya keras untuk bisa terus ‘berlari’ agar penghasilan bisnisnya kian meningkat. ”Dari kalangan profesional seringkali gagal menjalani bisnis karena mindset-nya masih karyawan,” katanya.
Hal lain yang perlu diingat, seorang profesional masih memiliki jatah istirahat yang tetap yaitu libur pada Sabtu dan Minggu, serta adanya jatah cuti tahunan.
Sementara seorang entrepreneur yang ingin memiliki bisnis ‘besar’, dalam beberapa tahun pertama bisa jadi kesulitan untuk merasakan libur. Pekerjaannya mungkin saja memakan waktu 24 jam sehari. Bagi seorang pengusaha, harus siap untuk tidak tidur.
“Setidaknya seorang pengusaha akan menghabiskan waktu sepuluh tahun pertama dalam memperkuat sistem dan tim,” katanya.
Catatan lainnya, menurut penulis buku Formula Aman Jadi Pengusaha tersebut, sebuah bisnis berpotensi bangkrut apabila pemiliknya menggabungkan uang pribadi dan uang bisnis.
Riset dari Vanaya Institute memperlihatkan kebanyakan pengusaha bertahan di level mikro yaitu dengan omzet Rp100 juta per tahun. Hanya 10% pengusaha mikro yang berhasil meningkatkan levelnya menjadi pengusaha kecil dengan omzet Rp100 juta hingga Rp4,8 miliar per tahun. Selanjutnya, hanya 10% pengusaha kecil yang berhasil naik level ke tingkat menengah yaitu dengan omzet Rp4,8 miliar hingga Rp50 miliar.
Pada dasarnya, tidak masalah jika seorang karyawan ingin berbisnis sebagai sambilan atau ajang eksplorasi diri. Hanya saja, untuk menciptakan bisnis yang ‘serius’, perlu pengorbanan yang setimpal mulai dari waktu hingga tenaga.
Lyra mengatakan karyawan sebetulnya dapat mengalokasikan penghasilan untuk berinvestasi sehingga mendapatkan penghasilan pasif pengganti gaji, contohnya dengan membeli warabala atau properti yang menghasilkan pemasukan seperti kos-kosan.
Penghasilan pasif tersebut, lanjutnya, dapat membantu menaikan level kemapanan seseorang. Dia membedakan tingkat kemapanan menjadi empat yaitu rawan, aman, nyaman, dan mapan
Seseorang tergolong dalam tingkatan rawan jika masih terlilit utang ‘jelek’ seperti kartu kredit dan mengandalkan pemasukan aktif untuk menutupi kebutuhan dasar. Selanjutnya level aman artinya seseorang sudah memiliki pemasukan pasif yang dapat menutupi kebutuhan dasar. Pada level aman, pemasukan aktif dipakai untuk memperbanyak investasi dan membiayai gaya hidup. Investasi tersebut dapat memperbesar pemasukan pasif.
Setelah aman, seseorang akan masuk ke level nyaman, yaitu pemasukan pasif yang semakin besar dapat digunakan untuk kebutuhan dasar serta investasi, pemasukan aktif untuk membiayai gaya hidup.
Terakhir, seseorang akan dikatakan mapan apabila sudah memiliki pemasukan pasif yang cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan dasar, investasi, hingga gaya hidup. Dengan begitu, dia bebas menggunakan pemasukan aktif untuk keperluan apapun.