Bisnis.com, JAKARTA -- Konsep agregator gas yang saat ini sedang digodok tidak mendesak dilakukan.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara, mengatakan justru yang harus menjadi prioritas adalah monopoli alamiah. "Ini sesuai amanat Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945," ujarnya dalam seminar nasional bertajuk “Tata Kelola Gas Nasional,” di Jakarta, Kamis (17/12/2015).
Cara memonopoli, lanjut Marwan, bisa dilakukan oleh BUMN sebagai kepanjangan negara. Jika saat ini terdapat dua BUMN yang bergerak di sektor gas, yakni Pertamina dan PT Perusahaan Gas Negara (PGN), Marwan melihat pemerintah yang harus mengatur dan menjadikannya bersinergi. “Misalnya, pemerintah menyerahkan sahamnya yang berada di PGN kepada Pertamina, sehingga Pertamina menjadi induk. Kemudian, Pertamina sebagai induk merger PGN dan Pertagas,” kata Marwan.
Mengenai bentuk sinergi, Marwan juga setuju bahwa yang bisa dilakukan, adalah dengan cara open access. Dengan demikian, antara PGN dan Pertagas, anak perusahaan Pertamina bisa saling memanfaatkan pipa yang sudah ada. “Sinergikan saja keduanya. Karena keduanya berada di bawah kendali pemerintah, sehingga seharusnya lebih mudah,” katanya.
Marwan mengingatkan, jangan sampai ada penumpang gelap yang memanfaatkan open access. Yakni, para trader yang hanya bermodalkan kertas dan sama sekali tidak memiliki infrastruktur.
Direktur Pengkajian, Kebijakan, dan Advokasi Komisin Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Taufik Ahmad mengatakan, open access merupakan bentuk sinergi paling ideal antara Pertagas dan PGN. Selain
meningkatkan efisiensi, lanjutnya, open access juga akan menstimulasi percepatan jaringan. “Open access tidak mematikan semangat untuk membangun jaringan. Bahkan, open access akan menstimulasi untuk pembangunan jaringan di tempat lain, karena adanya kepastian sambungan,” katanya.
Taufik menambahkan, indsutri gas merupakan network industry, sebagaimana kereta api, air minum, telekomunikasi, dan lain-lain. Dan kunci dari network industry, adalah open access atau interkoneksi. Melalui open access, misalnya, jaringan air minum dari Jawa Timur Timur bisa bersambung ke Jawa Barat. Adapun dalam telekomunikasi, antar operator bisa memanfaatkan jaringan milik operator lain, sehingga komunikasi lancar dilakukan.
“Jadi, open access merupakan ruh industri jaringan seperti gas. Dengan open access, akan memudahkan membangun jaringan, karena jaringan yang berada di satu tempat akan mendapatkan kepastian untuk tersambung dengan jaringan di tempat lain. Karena jaringan pipa itu sangat mahal, sehingga kalau masing-masing membangun dan ada kepastian tersambung, maka akan jauh lebih murah dan masing-masing bisa bersinergi satu sama lain. Sesuai best practice, open access memang satu-satunya cara bagi industri memperluas cakupan,” kata Taufik.
Pada kesempatan selanjutnya, anggota Komisi VII DPR Kurtubi mengatakan gas merupakan energi masa depan bangsa. Untuk itu perlu dukungan untuk membangun infrastruktur gas.
Dia mengharapkan ke depan pembangunan infrastratuktur gas bisa dilakukan dengan lebih dahsyat lagi. Hanya saja, lanjutnya, setelah infrastuktur gas jadi, dirinya kurang sependapat jika infrastuktur yang sudah dibiayai dengan APBN tersebut, diserahkan kepada PGN. Masalahnya, 43 persen saham PGN dimiliki oleh asing. “Ini sama sekali tidak waras. Kecuali PGN menjadi sepenuhnya milik negara, ini kita dukung penuh,” lanjut Kurtubi.
Mengenai caranya, bisa melalui buy back, yakni membeli kembali saham PGN. Dananya dari mana? “Bisa saja dari Pertamina,” kata Kurtubi.