Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah resmi menetapkan batas pengenaan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) pada hunian rumah dan apartemen berdasarkan nilai, masing-masing Rp20 miliar dan Rp10 miliar.
Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 206/PMK.010/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan No.106/PMK.010/2015 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Mekar Satria Utama mengatakan nilai atau harga itu lebih mencerminkan mewah atau tidaknya rumah dan apartemen ketimbang lewat batasan luasan.
“Rumah atau apartemen yang tidak terlalu luas tetapi di daerah yang strategis otomatis harganya akan lebih mahal dibandingkan dengan di wilayah lain, tetapi lebih luas,” ujarnya, Jumat (27/11/2015).
Dalam payung hukum yang diundangkan 20 November 2015 dan berlaku 14 hari setelahnya itu, disebutkan kelompok hunian mewah yang dikenai tarif PPnBM 20% yakni pertama, rumah dan townhouse dari jenis nonstrata title dengan harga jual senilai Rp20 miliar atau lebih. Kedua, apartemen, kondominium, townhouse dari jenis strata title, dan sejenisnya dengan harga jual Rp10 miliar atau lebih.
Dalam aturan sebelumnya, batasan rumah dan town house dari jenis nonstrata title dipatok dengan luas bangunan 350 m2 atau lebih. Sementara, apartemen, kondominium, town house dari jenis strata title, dan sejenisnya diukur dengan luas bangunan 150 m2 atau lebih.
Terkait dengan besaran harga, sambung Mekar, ditetapkan setelah adanya dialog Menteri Keuangan dengan pengusaha properti belum lama ini. Menurutnya, selain fokus pada sisi penerimaan pajak, pemerintah menginginkan adanya stimulus untuk pelaku usaha agar mengembangkan bisnisnya.
Pasalnya, menurut riset pengusaha properti, permintaan masyarakat pada rumah Rp10 miliar Rp20 miliar dan apartemen di atas Rp5 miliar hingga Rp10 miliar cukup tinggi. Namun, selama ini pengembang tidak berani membangun karena takut harga menjadi terlalu mahal dan tidak laku karena adanya PPnBM.
Dia berujar batasan dengan harga ini juga sudah disusun menyesuaikan rencana pembukaan keran kepemilikan properti bagi warga negara asing yang juga masuk dalam paket kebijakan ekonomi. Hingga saat ini, kepemilikan asing juga masih dibuka hanya untuk apartemen.
Karena batasan harga hunian mewah itu melebihi batas (threshold) pengenaan pajak penghasilan (PPh) pada hunian sangat mewah baik rumah maupun apartemen saat ini Rp5 miliar, pemerintah juga akan merevisi kembali batasan PPh pasal 22.
Padahal, penurunan threshold pengenaan PPh pasal 22 pada hunian sangat mewah dari semula di atas Rp10 miliar menjadi di atas Rp5 miliar itu baru dilakukan pertengahan tahun ini.
Batasan baru itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 90/PMK.03/2015 tentang Perubahan Atas PMK No. 253/PMK.03/2008 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli Atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah.
Dalam catatan Bisnis, angka Rp5 miliar itu lebih tinggi dari rencana revisi pemerintah pada awal tahun ini Rp2 miliar. Mekar berujar direvisinya kembali aturan itu merupakan konsekuensi logis setelah batasan hunian mewah Rp10 miliar dan Rp20 miliar.
“Kalau sudah ditetapkan PPnBM-nya di PMK ini (206/PMK.010/2015, semestinya PPh 22-nya segera menyesuaikan atau berbarengan,” ungkapnya tanpa memastikan lebih lanjut besaran threshold PPh pasal 22 yang akan diusulkan.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai batasan PPnBM Rp10 miliar dan Rp20 miliar itu cukup positif di pasar properti yang saat ini masih lesu. Kebijakan ini, sambungnya, akan mampu menjadi insentif pengembang untuk membangun properti kelas menengah dan menjadi insentif bagi konsumen agar bisa membeli properti hunian dengan harga yang lebih terjangkau.
Namun, menurut dia, supaya harmonis dan konsisten memang sebaiknya PPh 22 atas barang sangat mewah juga disesuaikan dengan batasn PPnBM ini. Oleh karena itu, ke depan, dia mengingatkan agar otoritas harus hati-hati mengeluarkan kebijakan. Jangan sampai kebijakan yang baru terbit justru direvisi kembali. “Jangan hanya reaktif pada gejala tanpa didahului riset,” ujarnya.