Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku industri berorientasi ekspor menyatakan bahwa sudah ada desakan dari konsumen untuk bergabung dengan Trans Pacific Partnership. Namun demikian, pemerintah harus melihat kepentingan industri secara keseluruhan.
Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko mengatakan bahwa pada dasarnya Trans Pacific Partnership (TPP) sangat membantu bagi industri yang berorientasi ekspor untuk bersaing dengan negara produsen lain yang menyasar pasar yang sama.
Dia memberi contoh, saat ini industri sepatu Indonesia bersaing dengan Vietnam yang sebelum masuk ke TPP bea masuk ke Amerika Serikat (AS) sebesar 9%. Dengan masuknya Vietnam ke TPP, bea masuk untuk produk Vietnam akan menjadi 0%.
“Pembeli di sana tentu akan lebih memilih produk Vientam daripada Indonesia. Mereka juga sudah mendesak kami untuk memperjuangkan supaya Indonesia masuk juga. Kalau untuk industri sepatu, TPP memang positif karena kalau tidak kita kalah 9%,” ujarnya pada Bisnis.com, Minggu (22/11/2015).
Namun di sisi lain, dia menyatakan bahwa persoalan TPP harus dilihat lebih menyeluruh untuk keseluruhan industri. Menurutnya, kendati berdampak positif bagi industri sepatu, kerja sama kelompok negara tersebut masih berdampak negatif bagi beberapa industri lainnya.
“Ternyata masih banyak asosiasi-asosiasi industri lain yang tidak sependapat. Jadi lebih banyak ruginya kalau kita masuk. Ya, daripada kita lebih banyak masalah. Misalnya kewajiban untuk mengikuti beberapa aturan seperti keterbukaan reformasi pemerintahan, hak cipta dan lainnya yang masih belum bisa kita penuhi,” jelasnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (Apsyfi) Redma Gita Wirawasta mengatakan bahwa persaingan untuk ekspor memang akan lebih berat dengan target pesaing Indonesia seperti Malaysia dan Vietnam yang ingin meningkatkan ekspor masih-masing sebesar US$42 miliar dan US$90 miliar pada 2025.
“Target ekspor Vietnam yang US$90 itu datang dari sektor tekstil dan produk tekstil [TPT] yang mendapatkan preferensi tarif bea masuk, khususnya ke AS yang merupakan pasar terbesar kedua TPT setelah Uni Eropa,” ujarnya.
Dia mengatakan bahwa lebih dari 50% negara tujuan ekspor industri TPT merupakan negara-negara yang tergabung dalam TPP. Dia menjelaskan bahwa saat ini garmen Indonesia yang masuk ke AS mendapat bea masuk 17,5%, sedangkan Vietnam sudah 5% dan Malaysia sendiri 0%.
Selain itu, hal lain yang turut berdampak ialah semakin banyaknya pesaing Indonesia untuk pasar seperti Jepang akibat bergabungnya negara tersebut dengan TPP. Dia menjelaskan bahwa meskipun Indonesia sudah mendapat preferential tariff dari skema Asean-Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP), pesaing akan bertambah dengan keikutsertaan Jepang pada TPP.
“Bagi negara di Amerika Latin seperti Meksiko, Peru dan Chili, magnetnya adalah pasar Jepang. Dengan bergabungnya beberapa negara produsen di TPP, maka saingan di pasar Jepang akan bertambah,” jelasnya.