Bisnis.com, JAKARTA – Melempemnya kinerja ekspor membuat rasio pembayaran utang luar negeri atau debt service ratio akhir kuartal III/2015 tercatat mencapai 57,47%. Padahal, di saat yang bersamaan, laju utang luar negeri terpantau melambat di level 2,7% (year on year).
Bank Indonesia mengumumkan jumlah utang luar negeri (ULN) akhir kuartal III/2015 mencapai US$ US$302,4 miliar, hanya tumbuh 2,7% dari periode yang sama tahun sebelumnya US$294,5 miliar. Namun, angka itu melambat dibandingkan capaian kuartal II/2015 senilai US$304,5, tumbuh sebesar 6,2% (year on year).
DSR 57,47 %berarti sebanyak 57,47 % dari penerimaan ekspor barang, jasa, dan transfer pendapatan, habis digunakan untuk membayar ULN – meliputi pembayaran pokok dan bunga atas utang dalam rangka investasi langsung selain dari anak perusahaan di luar negeri, serta pinjaman dan utang dagang kepada non-afiliasi –. Padahal, posisi periode yang sama tahun lalu 53,54% dan posisi per akhir kuartal II/2015 sebesar 53,47%.
Ekonom PT Bank Permata, Tbk Josua Pardede besaran debt service ratio yang terus membesar bahkan hingga lebih dari 50% seharusnya menjadi peringatan keras bagi pemerintah di tengah penerimaan ekspor yang jeblok.
“Neraca perdagangan Oktober surplus bukan karena ekspor yang membaik. Ini yang seharusnya diantisipasi. Batas amannya [DSR] itu menurut IMF di kisaran 30%-33%,” ujarnya, Rabu (18/11).
Menurutnya, pemerintah harus segera mencari produk ekspor baru yang memberikan nilai tambah. Terlenanya Indonesia pada ekspor komoditas mentah berdampak pada kondisi sekarang, di saat terjadi penurunan harga di pasar dunia.
Ekspor Indonesia pada Oktober 2015 tercatat US$12,08 miliar, turun 4% dibandingkan posisi bulan sebelumnya US$12,6 miliar. Realisasi kumulatif Januari-Oktober 2015 pada akhirnya mencapai US$127,2 miliar atau turun 14,04% dibandingkan capaian periode yang sama tahun lalu US$147,9 miliar.
Badan Pusat Statistik mencatat faktor kejatuhan harga-harga komoditas unggulan Tanah Air menyebabkan nilai ekpor turun walau secara volume sudah menunjukkan ada perbaikan. Total ekspor pada Oktober mencapai 42,9 juta ton, naik 4,38% (month to month) walau masih turun 1,7% (year on year).
Rata-rata harga agregat barang ekspor Indonesia secara total pada Oktober menurun 8,03% terhadap posisi bulan sebelumnya. Apalagi, bila dibandingkan periode yang sama tahun lalu, terjadi penurunan sebesar 19,55%.
Berkaca dari tren yang ada selama ini, sebelumnya, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo memproyeksi performa ekspor hingga akhir 2016 setidaknya sama dengan capaian 2010 senilai US$157,7 miliar sekaligus mencatatkan rekor terburuk sejak lima tahun terakhir, sebelum adanya momentum commodity boom yang menopang kinerja pada 2011.
Josua mengatakan dalam jangka dekat memang tidak ada bantuan dari sisi ekspor sehingga kebijakan moneter akan lebih berperan dalam menjaga nilai tukar rupiah. Keputusan Bank Indonesia untuk menahan dosis suku bunga acuannya di level 7,5% dan menurunkan giro wajib minimum (GWM) primer dari 8% menjadi 7,5% dinilai tepat saat ini.
Selain menjaga nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian kondisi eksternal, kebijakan ini akan memberikan insentif bagi masyarakat untuk mencari pinjaman dalam negeri dari pada pinjaman luar negeri.
Dengan level DSR saat ini, sambung Josua, juga harus menjadi peringatan bagi pemerintah dalam mencari pinjaman untuk menutup defisit fiskal hingga akhir tahun. Pasalnya, semakin membesarnya DSR akan memberikan sentimen negatif bagi investor.
Senior Economic Analyst Kenta Institute Eric Alexander Sugandi mengatakan secara keseluruhan posisi ULN hingga akhir tahun tidak banyak berubah dari posisi kuartal III. Posisi utang pemerintah memang akan tambah sedikit karena ada shortfall penerimaan pajak. Di saat yang bersamaan posisi utang swasta masih akan melambat.
“Swasta memang mengurangi pinjaman karena perlambatan aktivitas ekonomi dan pelemahan rupiah, tapi mereka tetap membayar kewajiban yang jatuh tempo,” katanya.
Dalam rilis Bank Indonesia, otoritas moneter menyatakan akan terus memantau perkembangan ULN, khususnya ULN sektor swasta. “Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keyakinan bahwa ULN dapat berperan secara optimal dalam mendukung pembiayaan pembangunan tanpa menimbulkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas makroekonomi,” tulis BI.
Tabel Debt Service Ratio
Tahun DSR
-----------------------------
2006 17,6
2007 18,3
2008 17,2
2009 21,1
2010 20,7
2011 22,9
2012 35,6
2013 41,3
2014 53,9
2015* 57,47