Bisnis.com, PARIS/MONTREAL – Badan PBB yang menangani masalah penerbangan sipil, ICAO, akan menunda kewajiban pesawat terbang dilengkapi alat pendeteksi posisi hingga dua tahun ke depan.
"Kewajiban penggunaan alat pendeteksi posisi itu baru akan diterapkan pada 2018," ujar kalangan internal ICAO seperti diberitakan Reuters, Selasa (13/10/2015) WIB.
International Civil Aviation Organization (ICAO) sebelumnya mengajukan usulan bahwa mulai November 2016 seluruh pesawat berbadan lebar yang membawa penumpang harus melaporkan keberadaannya minimal setiap 15 menit sekali.
Kebijakan itu merupakan bagian dari rencana yang lebih luas untuk menghindari terulangnya tragedi hilangnya pesawat MH370 milik Malaysia Airlines.
Namun, berdasar laporan pada 1 September 2015, dewan penasihat ICAO merekomendasikan agar kebijakan itu ditunda pelaksanaannya hingga 2018 untuk memberikan kesempatan kepada setiap maskapai penerbangan mengimplementasikan perubahan ketententuan tersebut.
Sementara, konsultan ICAO juga merekomendasikan agar ICAO juga menimbang soal sistem pendeteksi otomatis, yang akan memaksa setiap maskapai menginstal peralatan baru pada pesawat milik mereka.
Ketika aturan soal kewajiban melapor diajukan pertama kali, ICAO menyebutkan soal perubahan kecil pada pesawat yang tidak memiliki piranti pendeteksi posisi untuk melaporkan keberadaan mereka melalui radio, yang artinya tak ada maskapai yang harus menambahkan peranti baru dari pesawat mereka.
Kelompok konsultan bernama Normal Aircraft Tracking Implementation Initiative (NATII) menyebutkan bahwa laporan manual akan mengganggu pilot sehingga berpotensi menyebabkan masalah pada keselamatan penerbangan. Tak hanya itu, laporan pilot pun bisa saja tidak akurat.
ICAO tidak berkomentar soal rekomendasi NATII, namun menyebutkan bahwa keputusan final akan dicapai pada November.
“Kami akan terus bekerja dengan saksama untuk memastikan bahwa deteksi posisi penerbangan menjadi hal yang segera bisa diterima,” ujar wanita jubir ICAO dalam surat elektroniknya.
Kalangan yang dekat dengan ICAO menyebutkan bahwa sejumlah negara merasa tenggat tahun 2016 terlalu pendek, sementara mereka harus melakukan perencanaan dan pelatihan kepada kalangan penerbangan.