Bisnis.com, JAKARTA – Penerimaan perpajakan yang menjadi tanggung jawab Ditjen Bea dan Cukai per akhir September 2015 masih terkontraksi.
Dengan prognosis shortfall – selisih antara realisasi dengan target – Rp9,69 triliun, otoritas bea dan cuki masih harus mengumpulkan Rp70,11 triliun dalam tiga bulan ke depan.
Kasubdit Humas dan Penyuluhan Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) Haryo Limanseto selain akan mengintensifkan upaya pengawasan, otoritas sangat berharap pada perubahan kebijakan pelunasan pita cukai yang tidak melebihi tahun berjalan untuk mencapai target penerimaan sekitar 95% dari target dalam APBNP 2015 Rp195 triliun.
“Kita bener-bener serius meningkatkan pengawasan barang ilegal. Ya, untuk mencapai 95% harapannya cuma PMK 20/2015,” ujarnya kepada wartawan, Minggu (4/10/2015)
Dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 20/PMK.04/2015, pembayaran cukai yang harus dilakukan paling lama 31 Desember tahun berjalan terkait. Karena biasanya penundaan pelunasan pita cukai dimungkinkan dalam dua bulan, pemerintah akan mendapatkan penerimaan cukai selama 14 bulan untuk tahun ini.
Menilik data DJBC penerimaan bea dan cukai per akhir September senilai Rp114,99 triliun masih lebih rendah dibandingkan capaian periode yang sama tahun lalu senilai Rp119,4 triliun. Penerimaan cukai tumbuh sekitar 4,3% dari Rp85,2 triliun per tahun lalu menjadi Rp85,2 triliun tahun ini.
Pertumbuhan cukai yang masih di bawah pertumbuhan alamiahnya itu tidak mampu mengkompensasi terkontraksinya penerimaan bea masuk (BM) dan bea keluar (BK). Penerimaan BM tercatat Rp23,06 triliun atau lebih rendah dari capaian 2014 senilai Rp23,9 triliun. Sementara, BK anjlok 69,9%.
DJBC, sambung Haryo, akan terus mengintensifkan pengawasan barang kena cukai ilegal. Bahkan, mulai saat ini, pengawasan yang dilakukan di daerah pemasaran akan dipukul rata dengan pengawasan di daerah produksi. Dengan demikian, harapannya akan ada pengisian BKC yang ilegal, terutama hasil tembakau (rokok).
Untuk kenaikan tarif cukai rokok, pihaknya mengaku belum mengetahui pasti eksekusi peluncuran kebijakan – yang selama ini berupa PMK – yang akan efektif tahun depan. Namun, pihaknya memastikan instrumen tarif untuk pendorongan penerimaan tahun depan tetap akan dilakukan dan diumumkan tahun ini.
“Saya enggak bisa jawab [tarifnya]. Seperti biasanya dari tahun ke tahun [pengumumannya] November,” katanya.
Dalam catatan Bisnis, berdasarkan historisnya, terjadi kenaikan pemesanan pita cukai hingga 25,9% di atas rata-rata setiap bulan pasca dikeluarkannya kebijakan kenaikan tarif cukai. Artinya, akan ada pemasukan yang lebih tinggi untuk cukai.
Dalam rapat dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR belum lama ini, Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi mengatakan kenaikan tarif cukai rokok rata-rata sekitar 15% tahun depan dengan exercise penerimaan bea dan cukai tahun depan Rp185,8 triliun yang turun Rp11,5 triliun dari rencana Rp197,3 triliun setelah asumsi pertumbuhan ekonomi bergeser dari 5,5% menjadi 5,3%.
Namun, dalam rapat tersebut disepakati penerimaan pos bea dan cukai disepakati senilai Rp186,5 triliun. Target tersebut naik tipis sekitar 0,6% dibandingkan outlook tahun ini Rp185,3 triliun. Dengan demikian, akan ada perubahan rata-rata kenaikan tarif cukai rokok.
Heru mengatakan dalam dua pekan kedepan akan ada revisi aturan terkait peredaran rokok di kawasan bebas. Dia mengatakan nantinya akan tanda khusus yang dipakai untuk barang kena cukai (BKC) terutama rokok yang bisa masuk dan dapat digunakan dalam kawasan perdagangan bebas (free trade zone / FTZ). Langkah ini, sambungnya, untuk memberikan kepastian legalnya rokok yang beredar.
“Kalau sekarang misalnya itu [rokok] dipakai dan beredar di Batam kita enggak bisa bedakan ini legal atau illegal karena sama-sama enggak pakai pita cukai. Nanti dengan peraturan baru kita akan kasih tanda atau label,” ujarnya.
Dia berujar nantinya payung hukum yang dikeluarkan berbentuk revisi Peraturan Menteri Keuangan No. 47/PMK.04/2012 tentang Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Pembebasan Cukai.
Mantan Direktur Fasilitas DJBC ini mengungkapkan karena adanya pembebasan perpajakan termasuk cukai tersebut membuat peredaran rokok antara legal dan ilegal tidak bisa dibedakan. Dengan pemberian label, sambungnya, diharapkan ada pembeda dan memudahkan pengawasan otoritas kepabeanan.