Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Benahi Tata Niaga Gas, Hapus Sistem Trader Kertas

Sistem trader kertas yang ada sekarang sebaiknya dihapus saja, karena membuat harga jual gas ke konsumen menjadi sangat mahal. Terlebih, ketika konsep aggregator gas kelak diberlakukan, yang tujuannya untuk memperkuat gas dalam negeri.
Sistem trader kertas yang ada sekarang sebaiknya dihapus saja, karena membuat harga jual gas ke konsumen menjadi sangat mahal./Esdm.go.id
Sistem trader kertas yang ada sekarang sebaiknya dihapus saja, karena membuat harga jual gas ke konsumen menjadi sangat mahal./Esdm.go.id

Bisnis.com, JAKARTA -  Sistem trader kertas yang ada sekarang sebaiknya dihapus saja, karena membuat harga jual gas ke konsumen menjadi sangat mahal. Terlebih, ketika konsep aggregator gas kelak diberlakukan, yang tujuannya untuk memperkuat gas dalam negeri.

"Trader kertas yang terjadi saat ini membuat rantai tata niaga menjadi panjang. Konsumen sangat dirugikan karena harga gas menjadi sangat tinggi,” kata Ferdinand Hutahaean, Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia. Kamis (1/10/2015).

Menurut Ferdinand, dalam trader kertas seperti saat ini, banyak rantai tata niaga yang sebenarnya tidak perlu ada. Misalnya, BUMD-BUMD di berbagai daerah yang secara “tiba-tiba” menjadi  perantara gas tersebut. Para perantara tersebut, lanjut Ferdinand, sebenarnya tidak memiliki peran apapun, karena tanpa mereka pun sebenarnya gas bisa langsung dijual ke konsumen.

“Mereka itu sebenarnya merupakan bagian dari kepentingan. Keberadaannya sangat merugikan,” lanjut Ferdinand.

Untuk itu, kata dia,  tidak ada jalan lain, kecuali menghapus saja sistem tata niaga yang jelas-jelas merugikan tersebut. Bahkan, jika para trader kertas tadi tetap ada pada saat pemberlakuan aggregator gas, maka bisa menjadi kontra poduktif dan membuat tujuan aggregator gas tidak tercapai. Dengan demikian, kalaupun ingin memberi semacam “apresiasi” terhadap daerah, lanjut Ferdinand, cukup dengan pembagian dividen saja.

Di sisi lain Ferdinand mengatakan,  idealnya hanya satu BUMN yang menjadi aggregator gas. Karena sebagaimana konsepnya,  aggregator tadi akan meliputi seluruh kegiatan dari hulu ke hilir. Dengan hanya satu aggregator gas, maka akan meningkatkan bargain position Indonesia, terutama karena perannya di sektor hulu tadi.

Lebih lanjut Ferdinand menambahkan,  sebaiknya yang menjadi agregator gas merupakan BUMN murni. Karena dengan demikian, tidak akan ada kepentingan asing yang mendompleng di dalam aggregator gas tadi. "Sayangnya, salah satu di antara dua BUMN yang digadang-gadang dalam RUU Migas untuk menjadi agregator gas, justru 47 persen sahamnya dikuasai asing," ujarnya.

Dengan kepemilikan asing yang luar biasa tersebut, dikhawatirkan bahwa aggregator gas hanya akan menjadi alat bagi pihak asing terkait regulasi gas. Kondisi ini menurut Ferdinand sangat berbahaya, karena tujuan aggregator gas adalah untuk memperkuat gas di dalam negeri. “Ini persoalan serius,” katanya.

Tidak hanya itu. Dengan proporsi kepemilikan asing yang besar tersebut, dikhawatirkan pula keuntungan yang diraih justru akan lari ke pihak asing, yakni sesuai dengan proporsi kepemilikannya. “Ini mengkhawatirkan, karena seharusnya keuntungan itu masuk semua ke dalam negeri,” kata Ferdinand.

Selain menghapus trader kertas, hal yang juga harus menjadi perhatian terkait aggregator gas adalah open access. Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute mengatakan, open  acces ini penting, terkait konsep bahwa aggregator gas sebaiknya dilaksanakan secara tungal oleh pelaku utama. Melalui open access, maka pelaku utama bisa bersinergi dengan pelaku lain yang berkompeten di sisi hilir, yakni yang memiliki jaringan infrastruktur distribusi cukup memadai.

“Melalui jalur open access seperti itu, aggregator gas bisa berjalan seperti yang diharapkan. Daripada membangun lagi infrastruktur, akan lebih efisien jika memanfaatkan yang sudah ada,” lanjutnya.

Terkait open acces tadi, lanjut Komaidi, sebaiknya memang perlu dipilih pelaku utama yang benar-benar berkompeten. Jika melihat peran besar aggregator gas, hendaknya pelaku utama tersebut harus memiliki pengalaman di sektor hulu, termasuk terkait akses, pengalaman bernegosiasi harga di hulu, menghitung harga keekonomian gas di kepala sumur, eksplorasi, sewa rig, dan bahkan kekuatan finansial.

“Guna melengkapi peran distribusi di sektor hilir, maka pelaku utama tadi bisa menerapkan open access. Idealnya seperti itu,” katanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Martin Sihombing

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper