Bisnis.com, SAMARINDA - Mukhamat Arif, 28, adalah kawan lama yang tinggal di Samarinda, Kalimantan Timur. Berulang kali dia menceritakan bagaimana mudahnya mencari kerja di Tanah Borneo.
"Tujuan orang yang datang ke sini sama seperti orang yang ke Jakarta, mencari pekerjaan," begitu katanya.
Batu bara, minyak dan gas (migas), serta kelapa sawit lebih dari cukup untuk menjadi magnet bagi para pemburu pekerjaan dari seluruh Indonesia.
Namun, itu jelas cerita lama. Apa yang terlihat di ruang pertemuan Kantor Gubernur Kalimantan Timur awal bulan lalu menunjukkan hal yang berbeda. Dari ratusan kursi yang disediakan, hanya beberapa baris saja yang berpenghuni.
Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek tidak bisa menyembunyikan kekecewannya melihat jajaran kursi kosong di ruangan itu. Wajar memang. Pertemuan kemarin bukan pertemuan sembarangan.
Dalam ajang ini akan dibahas salah satu persoalan genting yang sedang dihadapi masyarakat Kaltim: pemutusan hubungan kerja (PHK).
Jajaran pemerintah selaku tuan rumah justru lebih banyak memenuhi ruangan tersebut. Sejumlah satuan kerja perangkat daerah (SKPD) seperti Dinas Perkebunan, Dinas Pertambangan dan Energi, hingga Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) terlihat hadir.
Namun, tamu undangan hanya segelintir yang datang.
Sebelumnya, pemerintah provinsi telah menyebar undangan kepada sekitar 300 pengusaha di Kalimantan Timur.
Faktanya, hanya 14 pebisnis yang memenuhi undangan tersebut.
"Saya sangat kecewa terhadap respons pengusaha. Padahal niat kami mengumpulkan mereka untuk mencari solusi masalah PHK yang rawan terjadi," ujarnya saat ditemui Bisnis seusai rapat tersebut.
Tidak hanya pemerintah, pihak Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kaltim juga menyesalkan respons para pengusaha tersebut.
Namun, pertemuan toh tetap digelar meskipun jumlah peserta jauh dari ekspektasi.
Permasalahan PHK di Kalimantan Timur memang sudah dalam taraf mengkhawatirkan.
Provinsi yang selama ini mengandalkan cuan dari sumber daya alam ini 'kena batunya’ setelah harga batu bara, migas, dan kelapa sawit jatuh ke titik nadir.
Perusahaan yang tidak kuat modal berguguran satu per satu. Imbasnya, tidak sedikit pekerja yang terpaksa dirumahkan.
Tren ini bukan cuma isapan jempol. Untuk membuktikannya mari tengok data yang dirilis Disnakertrans Kalimantan Timur.
Sejak tahun lalu hingga Agustus 2015, jumlah pekerja yang terkena PHK sudah mencapai 10.721 orang.
Aksi ini melibatkan 707 perusahaan dari berbagai sektor di Kalimantan Timur.
Dari jumlah tersebut, porsi paling besar memang datang dari sektor pertambangan yang mencapai 9.759 orang atau sekitar 91% dari total pekerja yang dirumahkan.
Adapun sektor lainnya seperti perkebunan dan jasa tidak terlalu banyak melakukan PHK.
Kota Balikpapan menjadi penyumbang terbesar. Jumlahnya mencapai 7.088 orang yang seluruhnya berasal dari sektor pertambangan.
Ini bukan angka yang kecil bagi pemerintah provinsi Kaltim.
Awang Faroek menuturkan pihaknya berupaya sekuat mungkin mencegah praktik PHK tersebut meluas. Maka ketika undangan Pemprov untuk duduk bersama membicarakan persoalan ini diabaikan pelaku usaha, Gubernur dan jajarannya tidak kuasa menahan luapan emosinya.
Awang meminta kepada pelaku usaha untuk tidak gegabah memecat pekerjanya atas dasar efisiensi. Dia mewajibkan para pebisnis melaporkan rencana PHK yang akan mereka lakukan. "Buat kami 1 orang di-PHK saja sudah banyak. Ini sampai 10.000," ujarnya.
Usriansyah, Plt. Kepala Disnakertrans Kalimantan Timur, bahkan sampai mengultimatum pengusaha yang mangkir.
Pihaknya juga sudah mendapatkan rekomendasi dari Gubernur untuk mempersulit perizinan pelaku usaha jenis tersebut.
Jika masih membandel, tidak menutup kemungkinan pemerintah bakal membekukan hingga mencabut izinnya.
Pertanyannya, efektifkah upaya tersebut dalam mencegah angka PHK di Kalimantan Timur.
Masalahnya, angka 10.721 pengangguran tersebut hanyalah puncak gunung es dari perekonomian Kalimantan Timur yang merosot tajam.
Bahkan, secara year on year perekonomian Kaltim minus 0,28% pada semester I/2015.
Sektor pertambangan dan penggalian yang berkontribusi 43,08% terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) minus 2,99%.
Industri pengolahan minus 3,03%, jasa keuangan minus 1,73% dan jasa perusahaan minus 2,15%.
Dengan kata lain, tren pemecatan karyawan masih mengintai perekonomian KalimantanTimur.
Bahkan menurut Ketua Apindo Kaltim Slamet Brotosiswoyo, angka PHK sejatinya lebih besar dari yang dilaporkan pemerintah provinsi.
Dia memperkirakan jumlahnya menembus angka 25.000 orang.
"Yang resmi dilaporkan memang hanya 10.721, tetapi perkiraan saya jauh lebih banyak dari itu," katanya kepada Bisnis, Kamis (3/9/2015).
Menurutnya, mencegah tren PHK di tengah kondisi perekonomian yang masih panas dingin bukan perkara mudah.
Apalagi sektor sumber daya alam sudah terlalu lama berkontribusi besar membangun bumi Kalimantan.
Dia mendorong investor untuk memasuki sektor bisnis di luar pertambangan. Sektor pariwisata misalnya, dinilai punya potensi besar menyerap tenaga kerja.
Namun, upaya itu jelas tidak semudah membalikkan telapak tangan. Slamet meminta pemerintah turut andil dengan memberikan kemudahan perizinan di sektor-sektor usaha baru guna menyerap tenaga kerja.
Lantas bagaimana dengan nasib 10.721 orang yang sudah terlanjur dirumahkan?
Disnakertrans meminta pengusaha membekali mereka dengan pelatihan keterampilan. Pemerintah juga sudah meneken nota kesepahaman dengan Apindo untuk memuluskan pelatihan tersebut.
Dari Apindo, pihaknya juga siap memberikan pelatihan kepada para korban PHK. Slamet menjelaskan pihaknya akan berkolaborasi dengan perusahaan untuk mengalokasikan dana corporate social responsibility (CSR).
"Jadi bukan Apindo yang mengumpulkan uangnya tetapi hanya bekerja sama agar perusahaan itu memberikan pelatihan menggunakan dana CSR mereka," tambahnya.
Pemecatan 10.721 orang dalam kurun waktu 1 tahun jelas bukan angka yang sedikit. Jika tidak segera dicarikan solusi, bukan tidak mungkin gudangnya sumber daya alam ini akan menghadapi gelombang PHK massal.
Pada akhirnya, cerita Arif soal kemudahan mencari pekerjaan di Kalimantan tentu harus segera direvisi. Terdengar pahit memang.